KONFLIK-KONFLIK POLITIK
Bab 1
Pendahuluan
A. latar Belakang
Teori politik
Politik adalah
proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain
berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini
merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai
hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu
untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga
dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
- politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles),
- politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan Negara,
- politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat,
- politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Teori politik
merupakan kajian mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana mencapai
tujuan tersebut serta segala konsekuensinya. Bahasan dalam Teori Politik antara
lain adalah filsafat politik, konsep tentang sistem politik, negara, masyarakat,
kedaulatan, kekuasaan, legitimasi, lembaga negara, perubahan sosial,
pembangunan politik, perbandingan politik, dsb. Terdapat banyak sekali sistem
politik yang dikembangkan oleh negara negara di dunia antara lain:
anarkisme,autoritarian, demokrasi, diktatorisme, fasisme, federalisme,
feminisme, fundamentalisme keagamaan, globalisme, imperialisme, kapitalisme,
komunisme, liberalisme, libertarianisme, marxisme, meritokrasi, monarki,
nasionalisme, rasisme, sosialisme, theokrasi, totaliterisme, oligarki dsb.
Masyarakat
Kata Masyarakat
itu berasal dari bahasa Arab, yaitu syaraka yang berarti ikut serta. Pengertian
masyarakat mencakup interaksi sosial, perubahan sosial, dan rasa kebersamaan.
Masyarakat sering juga disebut sistem sosial. Selain itu, ada beberapa pendapat
yang mengemukakan tentang pengertian masyarakat.
Koentjaraningrat, Masyarakat
adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat
istiadat tertentu yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Harold
J.Laski, Masyarakat adalah kelompok manusia yang hidup bersama dan bekerja sama
untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama.
Soerjono Soekamto, sejak
dilahirkan manusia memiliki dua keinginan pokok, yaitu:
- Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya.
- Keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.
Pada umumnya ciri-ciri
masyarakat adalah sebagai berikut:
- Manusia yang hidup bersama,
- Bergaul dalam waktu yang cukup lama,
- Sadar merupakan satu kesatuan,
- Suatu sistem kehidupan bersama.
Unsur-unsur agar terbentuk
masyarakat antara lain:
- Terdapat sekumpulan orang,
- Berdiam dalam suatu wilayah dalam waktu yang relatif lama,
- Menghasilkan sistem nilai.
Masyarakat politik dapat
diartikan sebagai masyarakat yang bertempat tinggal di dalam suatu wilayah
tertentu dengan “aktivitas tertentu” yang berhubungan dengan bagaimana
cara-cara memperoleh kekuasaan, usaha-usaha mempertahankan kekuasaan,
menggunakan kekuasaan, wewenang dan bagaimana menghambat penggunaan kekuasaan,
pengendalian kekuasaan, dan sebagainya.
Pada masyarakat politik,
interaksi setiap individu maupun kelompok memiliki cirri-ciri sebagai berikut.
1. Perilaku
Politik
(Political
Behavior) Perilaku politik dapat dinyatakan sebagai keseluruhan tingkah laku,
politik dan warga negara yang telah saling memiliki hubungan antara pemerintah
dan masyarakat, antara lembaga pemerintah dan antara kelompok masyarakat dalam
rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik.
2. Budaya
Politik
(Political
Culture) Menurut Almond dan Verba, budaya politik merupakan suatu sikap
orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam
bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem
itu. Warga negara mengidentifikasikan dirinya dengan simbol-simbol dan lembaga
kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki.
3. Kelompok
Kepentingan
(Interest
Group) Adalah kelompok/organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijakan
pemerintah tanpa berkehendak memperoleh jabatan publik. Kelompok kepentingan
bisa menghimpun ataupun mengeluarkan dana dan tenaganya untuk melaksanakan
tindakan-tindakan politik, biasanya mereka berada di luar tugas partai politik.
4. Kelompok
Penekan
(Pressure
Group) Menurut Stuart Gerry Brown, kelompok penekan adalah kelompok yang dapat
mempengaruhi atau bahkan membentuk kebijaksanaan pemerintah. Adapun cara yang
digunakan dapat melalui persuasi, propaganda atau cara lain yang lebih efektif.
Mereka antara lain: kelompok pengusaha, industriawan dan asosiasi lainnya.
Kekuasaaan
Dalam teori
politik menunjuk pada kemampuan untuk membuat orang lain melakukan sesuatu yang
tidak dikehendakinya. Max Weber menuliskan adanya tiga sumber kekuasaan:
pertama dari perundang-undangan yakni kewenangan; kedua, dari kekerasan seperti
penguasaan senjata; ketiga, dari karisma.
Menguraikan konsep kekuasaan
politik kita perlu melihat pada kedua elemennya, yakni kekuasaan dari akar kata
kuasa dan politik yang berasal dari bahasa Yunani Politeia (berarti kiat
memimpin kota (polis)). Sedangkan kuasa dan kekuasaan kerapa dikaitkan dengan
kemampuan untuk membuat gerak yang tanpa kehadiran kuasa (kekuasaan) tidak akan
terjadi, misalnya kita bisa menyuruh adik kita berdiri yang tak akan dia
lakukan tanpa perintah kita (untuk saat itu) maka kita memiliki kekuasaan atas
adik kita. Kekuasaan politik dengan demikian adalah kemampuan untuk membuat
masyarakat dan negara membuat keputusan yang tanpa kehadiran kekuasaan tersebut
tidak akan dibuat oleh mereka.
Bila seseorang, suatu
organisasi, atau suatu partai politik bisa mengorganisasi sehingga berbagai
badan negara yang relevan misalnya membuat aturan yang melarang atau mewajibkan
suatu hal atau perkara maka mereka mempunyai kekuasaan politik.
Variasi yang dekat dari
kekuasaan politik adalah kewenangan (authority), kemampuan untuk membuat orang
lain melakukan suatu hal dengan dasar hukum atau mandat yang diperoleh dari
suatu kuasa. Seorang polisi yang bisa menghentikan mobil di jalan tidak berarti
dia memiliki kekuasaan tetapi dia memiliki kewenangan yang diperolehnya dari UU
Lalu Lintas, sehingga bila seorang pemegang kewenangan melaksankan
kewenangannya tidak sesuai dengan mandat peraturan yang ia jalankan maka dia
telah menyalahgunakan wewenangnya, dan untuk itu dia bisa dituntut dan
dikenakan sanksi.
Negara
Negara
merupakan suatu kawasan teritorial yang didalamnya terdapat sejumlah penduduk
yang mendiaminya, dan memiliki kedaulatan untuk menjalankan pemerintahan, dan
keberadaannya diakui oleh negara lain. Ketentuan yang tersebut di atas
merupakan syarat berdirinya suatu negara menurut konferensi Montevideo pada
tahun 1933.
Negara (Bahasa Inggeris: State;
Bahasa Perancis: Etat) adalah satu komuniti politik tersusun yang menakluki
sesuatu kawasan dan mempunyai kedaulatan luaran dan dalaman yang boleh menguatkuasakan
monopoli terhadap penggunaan kekerasan yang difikirkan wajar.
Max Weber dalam buku “Politik
sebagai vokasi” (Politics as a vocation) (1918) memberi definasi Negara yang
paling kerap digunakan dalam teori-teori politik masa kini. Mengikut Weber, “Setiap
negara wujud hasil penggunaan kekerasan. Jika tiadanya institusi sosial ganas
wujud, konsep ‘negara’ tidak membawa maksud dan satu keadaan yang diberi nama
‘anarki’ akan timbul. Maka, negara adalah “satu komuniti manusia yang dengan
jayanya mendapat pengiktirafan penggunaan kekerasan dalam satu kawasan.” Dalam
definasi ini dia mencerminkan pendapat ahli falsafah Thomas Hobbes yang
mengatakan penguakuasaan Leviathan akan mencegah kematian yang ganas. Weber:
“Negara adalah satu-satunya sumber ‘hak’ menggunakan kekerasan”.
Definisi yang diberi Weber
adalah penting kerana dia memperkenalkan usul yang negaralah satu-satunya
bentuk penggunaan kuasa yang sah. Dalam maksud itu, kuasa, yang berlawanan
dengan umpamanya keganasan, organisasi, penagihan dan atribusi lainan adalah
konsep penting yang dikaitkan dengan negara dalam politik sains terkini. (Lihat
seminal Peter Evans, Theda Skocpol, Dietrich Rueschemeyer, eds., Bringing the
State Back in, Cambridge University Press, 1985). Errico Malatesta, satu ahli anarki
terkenal, menulis “Ahli anarki secara amnya menggunakan perkataan “Negara”
untuk merujuk kesemua institusi politik, perundangan, kehakiman, ketenteraan,
kewangan dll. yang dikawal sendirinya dan ditadbir oleh kelakuan sendiri
sesetengah individu tertentu dan mempunyai kepercayaan ramai untuk menjaga
keselamatan mereka, dan perlaksaan ini, secara terangan atau tersembunyi,
memaksa orang ramai menghormatinya dengan itu menggunakan penguatkuasaan
kolektif komuniti ke arah ini”.
Konflik
Konflik berasal
dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis,
konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa
juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dilatarbelakangi oleh
perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi.
perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik,
kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan
dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan
situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang
tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu
sendiri.
Konflik bertentangan dengan
integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat.
Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang
tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Bab
II
Pembahasan
Demokrasi elitis? Relasi kekuasaan pasca
pilkada
Sistem pilkada secara langsung menjanjikan
sejumlah harapan. Namun, dibalik sejumlah harapan tersebut, juga terdapat
sejumlah tantangan, dan/atau bias pilkada. Diantara bias pilkada yang dimaksud
adalah relatif sulitnya dihindari praktik money politics dan politik
aliran ketika proses pemilihan pasangan Kepala dan Wakil Kepala daerah
berlangsung. Proses pilkada itu sendiri sangat sarat diwarnai oleh praktik
persekongkolan-persekongkolan politik dan bisnis, maka tidak mengherankan jika
kemudian dalam penyelenggaraan pemerintahan pasca pilkada, pasangan Kepala dan
Wakil Kepala daerah terpilih akan lebih memberikan loyalitasnykepada para klien
politik dan klien bisnisnya daripada kepada masyarakat pemilih (konstituen). Tulisan
ini akan berupaya untuk menjelaskan dinamika penyelenggaraan pemerintahan
daerah pasca pilkada. Dalam mengupas tema sentral tersebut, penulis akan banyak
merujuk pada hasil temuan studi (tahun 2008) di provinsi Gorontalo berkaitan
dengan karakteristik dari relasi kekuasaan di dalam institusi formal pemerintahan
daerah pasca pilkada, dan peran dari shadow political dan business
managers, yaitu institusi atau individu ”pemangku otoritas informal”, namun
memiliki pengaruh cukup besar dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam implementasi
kebijakan. Lebih spesifiknya, diskusi pada bagian selanjutnya akan menjelaskan,
antara lain: (a) basis politik dan ekonomi dari beberapa ”pejabat kunci” di
provinsi yang diteliti; (b) faktor-faktor sosial-kultural yang turut berperan
sebagai ”membran perekat” dalam relasi inter personal
antara
para petinggi pemerintahan daerah (misalnya, latar belakang keluarga dan ikatan
kekerabatan); dan (c) pola interaksi antara Gubernur dengan para pejabat
eksekutif daerah, terutama dengan wakil Gubernur dan sekretaris daerah.
Sementara,
pembahasan tentang shadow political dan business managers, akan
lebih banyak menjelaskan, antara lain: (a) siapa aktor (institusi dan/atau
individu) yang berperan sebagai shadow political dan business
managers?; (b) mengapa aktor-aktor tersebut memiliki otoritas informal?;
(c) bagaimana otoritas tersebut digunakan dalam mempengaruhi penyelenggaraan
pemerintahan daerah?; dan (d) bagaimana pola interaksi antara para aktor
1
Korespondensi: S. Hidayat. LIPI, Jalan Jendral Gatot Subroto 10, Jakarta
Selatan, Telepon: 021-5207120; dan Program Pasca Sarja Ilmu Politik,
Universitas Nasional, Jalan Sawo Manila 61, Jakarta Selatan, Telepon:
021-7806700. E-mail: hidayat_syarif@hotmail.com. pemangku
otoritas informal tersebut dengan para petinggi pemerintahan daerah, khususnya dengan
Gubernur dan ketua DPRD?
Rangkaian
diskusi sebagaimana dikemukakan di atas, kemudian akan ditarik benang merahnya
pada bagian akhir tulisan ini, dalam bentuk generalisasi hasil studi tentang karakteristik
kepemimpinan lokal dan relasi kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
pasca pilkada.
METODE
Untuk
mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, langkah-langkah yang telah
dilakukan antara lain, studi literatur. Kegiatan ini bertujuan untuk
menggali berbagai informasi yang berhubungan dengan topik penelitian, antara
lain: konsep tentang essensi Pilkada dalam konteks desentralisasi dan otonomi
daerah; relasi bisnis dan politik dalam penyelenggaraan pemerintahan; konsep
dasar shadow state dan informal economy; serta hasil-hasil studi
issu-issu tersebut. Untuk tujuan ini, maka kegiatan telah difokuskan pada
eksplorasi berbagai litaratur terkait. Sedangkan pengumpulan data primer telah
dilakukan melalui wawancara mendalam, indepth interviews,
terhadap para narasumber yang terpilih sebagai responden di lokasi penelitian (propinsi
Gorontalo). Para narasumber yang dimaksud, antara lain: Para Penyelenggara Pemerintah
Daerah, Tokoh-tokoh Masyarakat, para Pengusaha, Akademisi, Aktivis Partai Politik
(khususnya yang terlibat sebagai “Tim Sukses” Kepala Daerah dalam Pilkada),
para Aktivis LSM, dan para Jurnalis di daerah. Selain melalui indepth
interview, pengumpulan data primer juga dilakukan melalui “studi kasus”,
yakni penelusuran secara komprehensif kasuskasustertentu
guna mendapatkan gambaran secara utuh dan mendalam tentang praktik shadow
state dan informal economy pada pasca Pilkada
HASIL PENELITIAN
Urgensi Pilkada Langsung: Asumsi Teoritis vs Realitas Empiris
Secara
konseptual, urgensi diterapkannya sistem Pilkada Langsung sangat erat terkait dengan
upaya untuk mewujudkan tujuan hakiki dari kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah,
yaitu terciptanya pemerintahan daerah yang demokratis dan terwujudnya
kesejahteraan masyarakat. Kendati pada tataran teoritis, hingga saat ini
keterkaitan secara langsung antara kebijakan desentralisasi dengan upaya untuk
mewujudkan demokratisasi dan kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal tersebut
masih terus diperdebatkan (Oyugi 2000). Namun para akademisi tetap percaya
bahwa diterapkannya sistem pilkada langsung merupakan suatu keniscayaan bagi
terwujudnya pemerintahan daerah yang baik (local good governance) dan dalam
rangka menegakkan kedaulatan rakyat.
Hanya
menyebut beberapa contoh, Brian Smith (1985) misalnya, secara tegas mengatakan
bahwa pemilihan secara langsung bagi para Kepala daerah (local government
heads) dan para anggota dewan perwakilan rakyat daerah (localrepresentative
council), merupakan salah satu syarat utama bagi terwujudnya pemerintahan
daerah yang akuntabel dan responsif, serta terbangunnya apa yang ia sebut
dengan political equality (persamaan hak politik) di tingkat lokal.
Logika teoritis yang dikemukakan oleh Smith (1985) tersebut mengisyaratkan bahwa
dengan pemilihan secara langsung, maka diharapkan para kepala daerah dan
anggota DPRD akan lebih memberikan loyalitasnya kepada masyarakat. Bila tidak,
maka masyarakat (pemilih) akan mendaulat para “petinggi daerah” tersebut
sebagai “insan” yang ingkar terhadap komitmen, dan selanjutnya akan mendapat
kredit point negatif pada pemilihan berikutnya. Argumentasi teoritis yang
hampir sama juga dikemukan oleh Arghiros (2001). Menurut Arghiros, ketika
desentralisasi didudukkan sebagai alat (mean) dan demokratisasi di
tingkat lokal diartikulasi sebagai tujuan (goal), maka sangat jelas
bahwa pilkada langsung merupakan paket yang tidak terpisahkan dari dua konsep
tersebut. Melalui kebijakan desentralisasi, dapat dikurangi sentralisasi
kekuasaan di tangan pemerintah pusat. Sementara, melalui pilkada langsung, akan
dapat tercipta pemerintah daerah yang akuntabel, dan responsif terhadap
tuntutan masyarakat. Walaupun pada tingkat realitas, lanjut Arghiros (2001),
tidak selamanya Kepala daerah yang dipilih secara langsung akan lebih akuntabel
dan responsif bila dibandingkan dengan Kepala daerah yang ditunjuk secara
langsung. Tetapi, paling tidak secara prosedural sistem pemilihan Kepala daerah
secara langsung (direct election) akan lebih baik dari sistem penunjukan
(non-elected).
Logika teoritis yang dibangun oleh Smith
(1985) dan Arghiros (2001) tentang urgensi dari diterapkannya sitem pemilihan
secara langsung tersebut (termasuk didalamnya pilkada) akan mencapai
kebenarannya bila berangkat dari asumsi substantive democracy (Case
2002). Substantive Democracy yang dimaksud oleh Williams Case (2002)
adalah, suatu praktikdemokrasi yang tidak saja ditandai oleh eksisnya
institutusi demokrasi (democratic institutions), tetapi juga ditunjukkan
oleh inherennya prilaku demokrasi (democratic behaviour) baik pada tataran
institusi, aparat pelaksana institusi itu sendiri, maupun pada tataran
masyarakat (civil society). Bila praktik demokrasi hanya sampai pada
menghadirkan dan membenahi institusi demokrasi, tulis Case (2002), maka tipe
demokrasi seperti ini lebih bersifat procedural democracy (demokrasi
prosedural).
Artinya,
tujuan ideal dari pemilihan secara langsung antara lain, untuk mewujudkan
pemerintahan
yang akuntabel, transparan, dan responsif hanya akan mendekati kenyataan ketika
diasumsikan bahwa perilaku demokrasi (democratic behaviour) telah eksis
baik pada tataran elit penyelenggara pemerintahan, maupun di kalangan
masyarakat. Ostrom (1991) dan Oyugi (2000) sepakat mengatakan bahwa, untuk
dapat terwujudnya sistem pemerintahan yang demokratis, tidak cukup hanya dengan
menghadirkan dan membenahi democratic institutions (institusidemokrasi),
tetapi harus disertai oleh kehadiran dari democratic behaviour. Inilah
sesungguhnya, tegas Ostrom (1991), roh dari demokrasi. Perilaku demokrasi harus
eksis baik pada tataran institusi, aparat pelaksana institusi itu sendiri,
maupun pada tataran masyarakat. Dengan inherennya perilaku demokrasi tersebut,
maka dapat dipastikan sebagian besar masyarakat (pemilih) telah “melek politik”
dan kalaupun diberikan hak kebebasan politik (political leberties),
mereka telah memiliki kapasitas untuk melakukan pilihan dan mengambil keputusan
atas pilihan tersebut secara rasional. Tentunya asumsi substantive democracy
di atas kurang relevan untuk dijadikan sebagai landasan berpikir dalam
memahami praktik pemilihan langsung (termasuk pilkada) pada periode transisi
demokrasi seperti yang sedang terjadi di tanah air saat ini. Pengertian
transisi demokrasi yang dimaksud di sini, lebih dalam arti suatu proses dimana
sistem politik sedang melakukan perubahan atau transformasi dari tipe prosedural
democracy menuju substantive democracy. Atau dengan kata lain,
transisi demokrasi tidak harus selalu merujuk pada pengertiannya yang konvensional,
yaitu: suatu proses atau perubahan dari sistem politik yang otoriter menuju
sistem politik demokratis. Satu diantara karakteristik dasar dari transisi
demokrasi adalah relatif masih minimnya perilaku demokrasi, baik dalam tataran
penyelenggara negara maupun di kalangan masyarakat itu sendiri. Akibatnya
proses politik masih lebih banyak didominasi oleh interaksi, kompetisi, dan
kompromi-kompromi kepentingan antara elit penguasa (state actors) pada
satu sisi dan elit masyarakat (societal actors) pada sisi lain (Hidayat
2003).
Postulat
transisi demokrasi ini secara implisit mengisyaratkan bahwa kalaupun pilkada langsung
diterapkan, sulit diingkari bila kemudian baik proses pemilihan itu sendiri
maupun penyelenggaraan pemerintahan daerah pada pasca pemilihan, akan sarat
diwarnai olehkompetisi dan kompromi-kompromi kepentingangan antara elit
penguasa dan elit masyarakat. Ini berarti keinginan untuk menegakkan kedaulatan
rakyat dan kebebasan politik masyarakat (civil political liberties)
sebagai tujuan hakiki dari pilkada langsung, relatif masih terlalu jauh untuk
menjelma dalam realitas.
Uraian
di atas secara tidak langsung telah memberikan sinyal tentang beberapa kemungkinan
bahaya dari pelaksanaan pilkada langsung pada periode transisi menuju demokrasi.
Dalam kondisi sebagian besar masyarakat pemilih yang relatif belum “melek politik”,
maka sulit dihindari jika kemudian mobilisasi massa pendukung melalui tokoh
panutan dan praktik politik uang (money politics) tetap akan menjadi
strategi andalan bagi masing-masing kandidat Kepala daerah. Satu diantara
implikasi dari praktik mobilisasi massa melalui dua modus operandi tersebut
adalah akan memicu semakin meningginya tensi konflik sosial horizontal di
daerah.
Sejauh
ini, tidak sedikit para pengamat telah memberi perhatian, atau bahkan telah mengungkapkan
secara transparan tentang kemungkinan bahaya dari pelaksanaan pilkada seperti diutarakan
di atas. Tentunya harus memberi apresiasi atas sensitivitas dan keberanian
akademis seperti itu. Namun demikian, juga tidak kalah pentingnya untuk sejak
dini mulai mengantisipasi kemungkinan bahaya ekonomi politik yang menanti pada
periode pasca pilkada. Diantara bias ekonomi-politik yang kemungkinan besar
akan terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah pada pasca pilkada tersebut
adalah munculnya praktik shadow state dan informal economy.
Negara bayangan (shadow state) atau
lebih konkritnya “pemerintah bayangan” tulis William Reno (1995), biasanya akan
hadir, tumbuh, dan berkembang tatkala terjadi pelapukan fungsi pada institutsi
pemerintah formal. Penyebab utama dari terjadinya pelapukan fungsi tersebut
antara lain, karena para elit penyelenggara pemerintah formal mengalami ketidakberdayaan
dalam berhadapan dengan kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, dan politik dominan
yang berada di luar struktur pemerintah. Konsekuensi logis dari kondisi seperti
ini, maka pada tingkat realitas, penyelenggaraan pemerintahan akan lebih banyak
dikendalikan oleh otoritas informal di luar struktur pemerintah, daripada
otoritas formal di dalam struktur pemerintahan itu sendiri. Sumber kekuatan
politik dari “pemerintah bayangan” tersebut cukup bervariasi. Satu diantaranya
yang paling dominan adalah investasi politik yang diberikan oleh aktor-aktor
yang berperan dalam “pemerintah bayangan” kepada pejabat pemerintah formal ketika
proses pemilihan berlangsung. Penjelasan yang sama juga berlaku bagi praktik
ekonomi informal (informal economy), karena sesungguhnya antara shadow
state dan informal economy merupakan dua hal yang selalu bergandengan
antara satu dengan lainnya. Secara umum, Barbara Harriss White (1999) mendefinisikan
praktik ekonomi informal sebagai bentuk transaksi ekonomi di luar
institusiformal. Modus operandi dari praktik ekonomi informal ini cukup
beragam. Diantaranya, tulis Barbara Harriss adalah, (1) manipulasi kebijakan
publik untuk kepentingan pengusaha; (2) transaksi “bawah tangan” antara
penguasa dan pengusaha dalam tender proyek-proyek pemerintah; dan (3) pemaksaan
swastanisasi aset-aset negara. Dari sisi pengusaha, praktik ekonomi informal
ini dapat diartikulasi sebagai bagian dari konpensasi atas perannya sebagai donatur
bagi si pejabat pemerintah dalam mendapatkan kursi kekuasaan. Sementara, dari
sisi pejabat pemerintah, praktik ekonomi informal tersebut memiliki fungsi
ganda, yaitu selain merupakan bagian dari bentuk “politik balas budi”, juga
merupakan arena untuk mendapatkan keuntungan ekonomi jangka pendek (seeking
short term economic benefit).
Bab
III
Penutup
Simpulan dan Rekomendasi
Sedikitnya ada tiga poin penting sebagai
kesimpulan umum dari hasil temuan penelitian tentang
relasi kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca pilkada di
provinsi
Gorontalo.
Pertama, bila dilihat dari latar belakang
karier yang dimiliki pasangan Gubernur dan
Wakil Gubernur yang terpilih dan
memenangkan perolehan suara pada proses pilkada adalah
bersatatus sebagai mantan pejabat tinggi
pemerintah daerah (incumbent).
Kedua, karakteristik dari relasi kekuasaan
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
cenderung terkonsentrasi ditangan
sekelompok elit atau apa yang disebut dengan oligarkhi
kekuasaan. Basis dari konstruksi oligarkhi
kekuasaan ini, diantaranya adalah belandaskan pada
kekuatan partai politik, ikatan
kekerabatan, dan hubungan keluarga. Sementara, modus dari
praktik konsentrasi kekuasan itu sendiri
lebih mendekati model monopolar, dimana konsentrasi
kekuasaan cenderung berporos pada satu
kutub yaitu Gubernur yang didukung oleh Wakil
Gubernur dan sekretaris daerah.
Ketiga, praktik oligarkhi kekuasaan
tersebut relatif dapat berjalan secara efektif dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah karena
ditopang oleh keberadaaan pemangku otoritas
informal yang berperan sebagai aktor
penghubung (connected actor) antara para pejabat
pemerintahan daerah dengan masyarakat pada
umumnya, dan dengan para pengusaha pada
khususnya. Pemangku otoritas informal
inilah dalam banyak hal bertindak sebagai shadow
political and business manager dari
para pejabat pemerintahan daerah, dalam memiliki pengaruh
dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi
kebijakan. Di provinsi Gorontalo, yang
berperan sebagai shadow political and
business manager adalah DPD partai Golkar tingkat
provinsi. Temuan penelitian ini menarik
untuk dicatat karena secara tidak langsung
mengingatkan bahwa modal relasi kekuasaan
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca
pilkada di provinsi Gorontalo dalam banyak
hal merupakan ‘reinkarnasi’ dari modal
pemerintahan orde baru.
Pertanyaannya kemudian adalah, secara
teoritis, bagaimana memaknai kesimpulan
umum hasil temuan studi tersebut pada
konteks dinamika reformasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah pada khususnya, dan
pada konteks reformasi sistem politik di Indonesia
pada umumnya? Bila mengikuti logika
perspektif demokrasi, dapat dipastikan bahwa
kesimpulan umum hasil studi di atas relatif
bertolak belakang dengan ekspektasi yang
diinginkan. Menurut “matematika” demokrasi,
sebagaimana telah disinyalir oleh Smith (1985)
dan Arghiros (2001), bahwa melalui praktik
pilkada, secara langsung diyakini akan mampu
melahirkan sistem penyelenggaraan
pemerintahan yang lebih akuntabel dan responsif terhadap
tuntutan masyarakat serta semakin tumbuhnya
persamaan politik (political equality) di tingkat
lokal. Sementara temuan studi di Gorontalo
mengindikasikan bahwa pilkada justru telah
melahirkan, antara lain, praktik oligarkhi
kekuasaan, dan semakin maraknya peran shadow
political and business manager. Menyikapi
kenyataan ini, dapat dipastikan bahwa secara teoritis
temuan studi di Gorontalo tidak cukup
dipahami hanya dengan menggunakan perspektif
demokrasi, tetapi juga harus dimaknai
berdasarkan teori elit (elitist theory).
Roberth Michels (1962) adalah salah seorang
pendukung elitist theory yang pertama kali
secara eksplisit menyebut terminologi
oligarkhi dalam struktur kekuasaan, yang selanjutnya
lebih populer dikenal dengan sebutan iron
law of oligarchy (hukum besi oligarkhi). Menurut
Michels (1962), nilai penting dari ide
demokrasi liberal adalah terletak pada keyakinan akan
eksistensi sistem pemerintahan sendiri oleh
masyarakat (self-goverment of masses) yang
dipadukan dengan proses pengambilan
keputusan oleh lembaga perwakilan (popular
assemblies).
Pada konteks inilah, dapat dimengerti bila kemudian, lembaga pemilihan umum,
termasuk didalamnya, pemilihan anggata
legislatif, pemilihan Presiden, dan pemilihan Kepala
daerah, menjadi sangat krusial dalam
konsepsi demokrasi liberal. Ini karena, melalui lembaga
pemilihan umum itulah, proses penyerahan
kedaulatan oleh masyarakat kepada para kandidat elit
politik yang akan mengemban tugas sebagai
pengambil keputusan, antara lain, dilakukan.
Namun demikian, tegas Michels (1962), pada
tingkat realitas, konsepsi demokrasi liberal
tersebut telah gagal dalam berhadapan
dengan struktur kekuasaan yang bersifat oligarkhi.
Akibatnya, pemerintahan langsung oleh
masyarakat (direct government by the masses)
sebagaimana dicita-citakan oleh para
pendukung perspektif demokrasi liberal hanyalah utopia
belaka,
karena yang terjadi justru pemerintahan oleh sekelompok elit politik.
0 komentar:
Posting Komentar