Kamis, 17 Desember 2015

KONFLIK-KONFLIK POLITIK

Bab 1

Pendahuluan

A. latar Belakang

*        Teori politik
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
  • politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles),
  • politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan Negara,
  • politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat,
  • politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Teori politik merupakan kajian mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana mencapai tujuan tersebut serta segala konsekuensinya. Bahasan dalam Teori Politik antara lain adalah filsafat politik, konsep tentang sistem politik, negara, masyarakat, kedaulatan, kekuasaan, legitimasi, lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, perbandingan politik, dsb. Terdapat banyak sekali sistem politik yang dikembangkan oleh negara negara di dunia antara lain: anarkisme,autoritarian, demokrasi, diktatorisme, fasisme, federalisme, feminisme, fundamentalisme keagamaan, globalisme, imperialisme, kapitalisme, komunisme, liberalisme, libertarianisme, marxisme, meritokrasi, monarki, nasionalisme, rasisme, sosialisme, theokrasi, totaliterisme, oligarki dsb.

*        Masyarakat
Kata Masyarakat itu berasal dari bahasa Arab, yaitu syaraka yang berarti ikut serta. Pengertian masyarakat mencakup interaksi sosial, perubahan sosial, dan rasa kebersamaan. Masyarakat sering juga disebut sistem sosial. Selain itu, ada beberapa pendapat yang mengemukakan tentang pengertian masyarakat.
Koentjaraningrat, Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Harold J.Laski, Masyarakat adalah kelompok manusia yang hidup bersama dan bekerja sama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama.
Soerjono Soekamto, sejak dilahirkan manusia memiliki dua keinginan pokok, yaitu:
  1. Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya.
  2. Keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.
Pada umumnya ciri-ciri masyarakat adalah sebagai berikut:
  • Manusia yang hidup bersama,
  • Bergaul dalam waktu yang cukup lama,
  • Sadar merupakan satu kesatuan,
  • Suatu sistem kehidupan bersama.
Unsur-unsur agar terbentuk masyarakat antara lain:
  1. Terdapat sekumpulan orang,
  2. Berdiam dalam suatu wilayah dalam waktu yang relatif lama,
  3. Menghasilkan sistem nilai.
Masyarakat politik dapat diartikan sebagai masyarakat yang bertempat tinggal di dalam suatu wilayah tertentu dengan “aktivitas tertentu” yang berhubungan dengan bagaimana cara-cara memperoleh kekuasaan, usaha-usaha mempertahankan kekuasaan, menggunakan kekuasaan, wewenang dan bagaimana menghambat penggunaan kekuasaan, pengendalian kekuasaan, dan sebagainya.
Pada masyarakat politik, interaksi setiap individu maupun kelompok memiliki cirri-ciri sebagai berikut.
1. Perilaku Politik
(Political Behavior) Perilaku politik dapat dinyatakan sebagai keseluruhan tingkah laku, politik dan warga negara yang telah saling memiliki hubungan antara pemerintah dan masyarakat, antara lembaga pemerintah dan antara kelompok masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik.
2. Budaya Politik
(Political Culture) Menurut Almond dan Verba, budaya politik merupakan suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Warga negara mengidentifikasikan dirinya dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki.
3. Kelompok Kepentingan
(Interest Group) Adalah kelompok/organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah tanpa berkehendak memperoleh jabatan publik. Kelompok kepentingan bisa menghimpun ataupun mengeluarkan dana dan tenaganya untuk melaksanakan tindakan-tindakan politik, biasanya mereka berada di luar tugas partai politik.
4. Kelompok Penekan
(Pressure Group) Menurut Stuart Gerry Brown, kelompok penekan adalah kelompok yang dapat mempengaruhi atau bahkan membentuk kebijaksanaan pemerintah. Adapun cara yang digunakan dapat melalui persuasi, propaganda atau cara lain yang lebih efektif. Mereka antara lain: kelompok pengusaha, industriawan dan asosiasi lainnya.
*        Kekuasaaan
Dalam teori politik menunjuk pada kemampuan untuk membuat orang lain melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya. Max Weber menuliskan adanya tiga sumber kekuasaan: pertama dari perundang-undangan yakni kewenangan; kedua, dari kekerasan seperti penguasaan senjata; ketiga, dari karisma.
Menguraikan konsep kekuasaan politik kita perlu melihat pada kedua elemennya, yakni kekuasaan dari akar kata kuasa dan politik yang berasal dari bahasa Yunani Politeia (berarti kiat memimpin kota (polis)). Sedangkan kuasa dan kekuasaan kerapa dikaitkan dengan kemampuan untuk membuat gerak yang tanpa kehadiran kuasa (kekuasaan) tidak akan terjadi, misalnya kita bisa menyuruh adik kita berdiri yang tak akan dia lakukan tanpa perintah kita (untuk saat itu) maka kita memiliki kekuasaan atas adik kita. Kekuasaan politik dengan demikian adalah kemampuan untuk membuat masyarakat dan negara membuat keputusan yang tanpa kehadiran kekuasaan tersebut tidak akan dibuat oleh mereka.
Bila seseorang, suatu organisasi, atau suatu partai politik bisa mengorganisasi sehingga berbagai badan negara yang relevan misalnya membuat aturan yang melarang atau mewajibkan suatu hal atau perkara maka mereka mempunyai kekuasaan politik.
Variasi yang dekat dari kekuasaan politik adalah kewenangan (authority), kemampuan untuk membuat orang lain melakukan suatu hal dengan dasar hukum atau mandat yang diperoleh dari suatu kuasa. Seorang polisi yang bisa menghentikan mobil di jalan tidak berarti dia memiliki kekuasaan tetapi dia memiliki kewenangan yang diperolehnya dari UU Lalu Lintas, sehingga bila seorang pemegang kewenangan melaksankan kewenangannya tidak sesuai dengan mandat peraturan yang ia jalankan maka dia telah menyalahgunakan wewenangnya, dan untuk itu dia bisa dituntut dan dikenakan sanksi. 
*        Negara
Negara merupakan suatu kawasan teritorial yang didalamnya terdapat sejumlah penduduk yang mendiaminya, dan memiliki kedaulatan untuk menjalankan pemerintahan, dan keberadaannya diakui oleh negara lain. Ketentuan yang tersebut di atas merupakan syarat berdirinya suatu negara menurut konferensi Montevideo pada tahun 1933.
Negara (Bahasa Inggeris: State; Bahasa Perancis: Etat) adalah satu komuniti politik tersusun yang menakluki sesuatu kawasan dan mempunyai kedaulatan luaran dan dalaman yang boleh menguatkuasakan monopoli terhadap penggunaan kekerasan yang difikirkan wajar.
Max Weber dalam buku “Politik sebagai vokasi” (Politics as a vocation) (1918) memberi definasi Negara yang paling kerap digunakan dalam teori-teori politik masa kini. Mengikut Weber, “Setiap negara wujud hasil penggunaan kekerasan. Jika tiadanya institusi sosial ganas wujud, konsep ‘negara’ tidak membawa maksud dan satu keadaan yang diberi nama ‘anarki’ akan timbul. Maka, negara adalah “satu komuniti manusia yang dengan jayanya mendapat pengiktirafan penggunaan kekerasan dalam satu kawasan.” Dalam definasi ini dia mencerminkan pendapat ahli falsafah Thomas Hobbes yang mengatakan penguakuasaan Leviathan akan mencegah kematian yang ganas. Weber: “Negara adalah satu-satunya sumber ‘hak’ menggunakan kekerasan”.
Definisi yang diberi Weber adalah penting kerana dia memperkenalkan usul yang negaralah satu-satunya bentuk penggunaan kuasa yang sah. Dalam maksud itu, kuasa, yang berlawanan dengan umpamanya keganasan, organisasi, penagihan dan atribusi lainan adalah konsep penting yang dikaitkan dengan negara dalam politik sains terkini. (Lihat seminal Peter Evans, Theda Skocpol, Dietrich Rueschemeyer, eds., Bringing the State Back in, Cambridge University Press, 1985). Errico Malatesta, satu ahli anarki terkenal, menulis “Ahli anarki secara amnya menggunakan perkataan “Negara” untuk merujuk kesemua institusi politik, perundangan, kehakiman, ketenteraan, kewangan dll. yang dikawal sendirinya dan ditadbir oleh kelakuan sendiri sesetengah individu tertentu dan mempunyai kepercayaan ramai untuk menjaga keselamatan mereka, dan perlaksaan ini, secara terangan atau tersembunyi, memaksa orang ramai menghormatinya dengan itu menggunakan penguatkuasaan kolektif komuniti ke arah ini”.

*        Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

Bab II
Pembahasan

*        Demokrasi elitis? Relasi kekuasaan pasca pilkada
Sistem pilkada secara langsung menjanjikan sejumlah harapan. Namun, dibalik sejumlah harapan tersebut, juga terdapat sejumlah tantangan, dan/atau bias pilkada. Diantara bias pilkada yang dimaksud adalah relatif sulitnya dihindari praktik money politics dan politik aliran ketika proses pemilihan pasangan Kepala dan Wakil Kepala daerah berlangsung. Proses pilkada itu sendiri sangat sarat diwarnai oleh praktik persekongkolan-persekongkolan politik dan bisnis, maka tidak mengherankan jika kemudian dalam penyelenggaraan pemerintahan pasca pilkada, pasangan Kepala dan Wakil Kepala daerah terpilih akan lebih memberikan loyalitasnykepada para klien politik dan klien bisnisnya daripada kepada masyarakat pemilih (konstituen). Tulisan ini akan berupaya untuk menjelaskan dinamika penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca pilkada. Dalam mengupas tema sentral tersebut, penulis akan banyak merujuk pada hasil temuan studi (tahun 2008) di provinsi Gorontalo berkaitan dengan karakteristik dari relasi kekuasaan di dalam institusi formal pemerintahan daerah pasca pilkada, dan peran dari shadow political dan business managers, yaitu institusi atau individu ”pemangku otoritas informal”, namun memiliki pengaruh cukup besar dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan. Lebih spesifiknya, diskusi pada bagian selanjutnya akan menjelaskan, antara lain: (a) basis politik dan ekonomi dari beberapa ”pejabat kunci” di provinsi yang diteliti; (b) faktor-faktor sosial-kultural yang turut berperan sebagai ”membran perekat” dalam relasi inter personal
antara para petinggi pemerintahan daerah (misalnya, latar belakang keluarga dan ikatan kekerabatan); dan (c) pola interaksi antara Gubernur dengan para pejabat eksekutif daerah, terutama dengan wakil Gubernur dan sekretaris daerah.
Sementara, pembahasan tentang shadow political dan business managers, akan lebih banyak menjelaskan, antara lain: (a) siapa aktor (institusi dan/atau individu) yang berperan sebagai shadow political dan business managers?; (b) mengapa aktor-aktor tersebut memiliki otoritas informal?; (c) bagaimana otoritas tersebut digunakan dalam mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan daerah?; dan (d) bagaimana pola interaksi antara para aktor
1 Korespondensi: S. Hidayat. LIPI, Jalan Jendral Gatot Subroto 10, Jakarta Selatan, Telepon: 021-5207120; dan Program Pasca Sarja Ilmu Politik, Universitas Nasional, Jalan Sawo Manila 61, Jakarta Selatan, Telepon: 021-7806700. E-mail: hidayat_syarif@hotmail.com. pemangku otoritas informal tersebut dengan para petinggi pemerintahan daerah, khususnya dengan Gubernur dan ketua DPRD?
Rangkaian diskusi sebagaimana dikemukakan di atas, kemudian akan ditarik benang merahnya pada bagian akhir tulisan ini, dalam bentuk generalisasi hasil studi tentang karakteristik kepemimpinan lokal dan relasi kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca pilkada.

*                  METODE
Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, langkah-langkah yang telah dilakukan antara lain, studi literatur. Kegiatan ini bertujuan untuk menggali berbagai informasi yang berhubungan dengan topik penelitian, antara lain: konsep tentang essensi Pilkada dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah; relasi bisnis dan politik dalam penyelenggaraan pemerintahan; konsep dasar shadow state dan informal economy; serta hasil-hasil studi issu-issu tersebut. Untuk tujuan ini, maka kegiatan telah difokuskan pada eksplorasi berbagai litaratur terkait. Sedangkan pengumpulan data primer telah dilakukan melalui wawancara mendalam, indepth interviews, terhadap para narasumber yang terpilih sebagai responden di lokasi penelitian (propinsi Gorontalo). Para narasumber yang dimaksud, antara lain: Para Penyelenggara Pemerintah Daerah, Tokoh-tokoh Masyarakat, para Pengusaha, Akademisi, Aktivis Partai Politik (khususnya yang terlibat sebagai “Tim Sukses” Kepala Daerah dalam Pilkada), para Aktivis LSM, dan para Jurnalis di daerah. Selain melalui indepth interview, pengumpulan data primer juga dilakukan melalui “studi kasus”, yakni penelusuran secara komprehensif  kasuskasustertentu guna mendapatkan gambaran secara utuh dan mendalam tentang praktik shadow state dan informal economy pada pasca Pilkada
HASIL PENELITIAN
Urgensi Pilkada Langsung: Asumsi Teoritis vs Realitas Empiris
Secara konseptual, urgensi diterapkannya sistem Pilkada Langsung sangat erat terkait dengan upaya untuk mewujudkan tujuan hakiki dari kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah, yaitu terciptanya pemerintahan daerah yang demokratis dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Kendati pada tataran teoritis, hingga saat ini keterkaitan secara langsung antara kebijakan desentralisasi dengan upaya untuk mewujudkan demokratisasi dan kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal tersebut masih terus diperdebatkan (Oyugi 2000). Namun para akademisi tetap percaya bahwa diterapkannya sistem pilkada langsung merupakan suatu keniscayaan bagi terwujudnya pemerintahan daerah yang baik (local good governance) dan dalam rangka menegakkan kedaulatan rakyat.
Hanya menyebut beberapa contoh, Brian Smith (1985) misalnya, secara tegas mengatakan bahwa pemilihan secara langsung bagi para Kepala daerah (local government heads) dan para anggota dewan perwakilan rakyat daerah (localrepresentative council), merupakan salah satu syarat utama bagi terwujudnya pemerintahan daerah yang akuntabel dan responsif, serta terbangunnya apa yang ia sebut dengan political equality (persamaan hak politik) di tingkat lokal. Logika teoritis yang dikemukakan oleh Smith (1985) tersebut mengisyaratkan bahwa dengan pemilihan secara langsung, maka diharapkan para kepala daerah dan anggota DPRD akan lebih memberikan loyalitasnya kepada masyarakat. Bila tidak, maka masyarakat (pemilih) akan mendaulat para “petinggi daerah” tersebut sebagai “insan” yang ingkar terhadap komitmen, dan selanjutnya akan mendapat kredit point negatif pada pemilihan berikutnya. Argumentasi teoritis yang hampir sama juga dikemukan oleh Arghiros (2001). Menurut Arghiros, ketika desentralisasi didudukkan sebagai alat (mean) dan demokratisasi di tingkat lokal diartikulasi sebagai tujuan (goal), maka sangat jelas bahwa pilkada langsung merupakan paket yang tidak terpisahkan dari dua konsep tersebut. Melalui kebijakan desentralisasi, dapat dikurangi sentralisasi kekuasaan di tangan pemerintah pusat. Sementara, melalui pilkada langsung, akan dapat tercipta pemerintah daerah yang akuntabel, dan responsif terhadap tuntutan masyarakat. Walaupun pada tingkat realitas, lanjut Arghiros (2001), tidak selamanya Kepala daerah yang dipilih secara langsung akan lebih akuntabel dan responsif bila dibandingkan dengan Kepala daerah yang ditunjuk secara langsung. Tetapi, paling tidak secara prosedural sistem pemilihan Kepala daerah secara langsung (direct election) akan lebih baik dari sistem penunjukan (non-elected).
Logika teoritis yang dibangun oleh Smith (1985) dan Arghiros (2001) tentang urgensi dari diterapkannya sitem pemilihan secara langsung tersebut (termasuk didalamnya pilkada) akan mencapai kebenarannya bila berangkat dari asumsi substantive democracy (Case 2002). Substantive Democracy yang dimaksud oleh Williams Case (2002) adalah, suatu praktikdemokrasi yang tidak saja ditandai oleh eksisnya institutusi demokrasi (democratic institutions), tetapi juga ditunjukkan oleh inherennya prilaku demokrasi (democratic behaviour) baik pada tataran institusi, aparat pelaksana institusi itu sendiri, maupun pada tataran masyarakat (civil society). Bila praktik demokrasi hanya sampai pada menghadirkan dan membenahi institusi demokrasi, tulis Case (2002), maka tipe demokrasi seperti ini lebih bersifat procedural democracy (demokrasi prosedural).
Artinya, tujuan ideal dari pemilihan secara langsung antara lain, untuk mewujudkan
pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan responsif hanya akan mendekati kenyataan ketika diasumsikan bahwa perilaku demokrasi (democratic behaviour) telah eksis baik pada tataran elit penyelenggara pemerintahan, maupun di kalangan masyarakat. Ostrom (1991) dan Oyugi (2000) sepakat mengatakan bahwa, untuk dapat terwujudnya sistem pemerintahan yang demokratis, tidak cukup hanya dengan menghadirkan dan membenahi democratic institutions (institusidemokrasi), tetapi harus disertai oleh kehadiran dari democratic behaviour. Inilah sesungguhnya, tegas Ostrom (1991), roh dari demokrasi. Perilaku demokrasi harus eksis baik pada tataran institusi, aparat pelaksana institusi itu sendiri, maupun pada tataran masyarakat. Dengan inherennya perilaku demokrasi tersebut, maka dapat dipastikan sebagian besar masyarakat (pemilih) telah “melek politik” dan kalaupun diberikan hak kebebasan politik (political leberties), mereka telah memiliki kapasitas untuk melakukan pilihan dan mengambil keputusan atas pilihan tersebut secara rasional. Tentunya asumsi substantive democracy di atas kurang relevan untuk dijadikan sebagai landasan berpikir dalam memahami praktik pemilihan langsung (termasuk pilkada) pada periode transisi demokrasi seperti yang sedang terjadi di tanah air saat ini. Pengertian transisi demokrasi yang dimaksud di sini, lebih dalam arti suatu proses dimana sistem politik sedang melakukan perubahan atau transformasi dari tipe prosedural democracy menuju substantive democracy. Atau dengan kata lain, transisi demokrasi tidak harus selalu merujuk pada pengertiannya yang konvensional, yaitu: suatu proses atau perubahan dari sistem politik yang otoriter menuju sistem politik demokratis. Satu diantara karakteristik dasar dari transisi demokrasi adalah relatif masih minimnya perilaku demokrasi, baik dalam tataran penyelenggara negara maupun di kalangan masyarakat itu sendiri. Akibatnya proses politik masih lebih banyak didominasi oleh interaksi, kompetisi, dan kompromi-kompromi kepentingan antara elit penguasa (state actors) pada satu sisi dan elit masyarakat (societal actors) pada sisi lain (Hidayat 2003).
Postulat transisi demokrasi ini secara implisit mengisyaratkan bahwa kalaupun pilkada langsung diterapkan, sulit diingkari bila kemudian baik proses pemilihan itu sendiri maupun penyelenggaraan pemerintahan daerah pada pasca pemilihan, akan sarat diwarnai olehkompetisi dan kompromi-kompromi kepentingangan antara elit penguasa dan elit masyarakat. Ini berarti keinginan untuk menegakkan kedaulatan rakyat dan kebebasan politik masyarakat (civil political liberties) sebagai tujuan hakiki dari pilkada langsung, relatif masih terlalu jauh untuk menjelma dalam realitas.
Uraian di atas secara tidak langsung telah memberikan sinyal tentang beberapa kemungkinan bahaya dari pelaksanaan pilkada langsung pada periode transisi menuju demokrasi. Dalam kondisi sebagian besar masyarakat pemilih yang relatif belum “melek politik”, maka sulit dihindari jika kemudian mobilisasi massa pendukung melalui tokoh panutan dan praktik politik uang (money politics) tetap akan menjadi strategi andalan bagi masing-masing kandidat Kepala daerah. Satu diantara implikasi dari praktik mobilisasi massa melalui dua modus operandi tersebut adalah akan memicu semakin meningginya tensi konflik sosial horizontal di daerah.
Sejauh ini, tidak sedikit para pengamat telah memberi perhatian, atau bahkan telah mengungkapkan secara transparan tentang kemungkinan bahaya dari pelaksanaan pilkada seperti diutarakan di atas. Tentunya harus memberi apresiasi atas sensitivitas dan keberanian akademis seperti itu. Namun demikian, juga tidak kalah pentingnya untuk sejak dini mulai mengantisipasi kemungkinan bahaya ekonomi politik yang menanti pada periode pasca pilkada. Diantara bias ekonomi-politik yang kemungkinan besar akan terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah pada pasca pilkada tersebut adalah munculnya praktik shadow state dan informal economy.
Negara bayangan (shadow state) atau lebih konkritnya “pemerintah bayangan” tulis William Reno (1995), biasanya akan hadir, tumbuh, dan berkembang tatkala terjadi pelapukan fungsi pada institutsi pemerintah formal. Penyebab utama dari terjadinya pelapukan fungsi tersebut antara lain, karena para elit penyelenggara pemerintah formal mengalami ketidakberdayaan dalam berhadapan dengan kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, dan politik dominan yang berada di luar struktur pemerintah. Konsekuensi logis dari kondisi seperti ini, maka pada tingkat realitas, penyelenggaraan pemerintahan akan lebih banyak dikendalikan oleh otoritas informal di luar struktur pemerintah, daripada otoritas formal di dalam struktur pemerintahan itu sendiri. Sumber kekuatan politik dari “pemerintah bayangan” tersebut cukup bervariasi. Satu diantaranya yang paling dominan adalah investasi politik yang diberikan oleh aktor-aktor yang berperan dalam “pemerintah bayangan” kepada pejabat pemerintah formal ketika proses pemilihan berlangsung. Penjelasan yang sama juga berlaku bagi praktik ekonomi informal (informal economy), karena sesungguhnya antara shadow state dan informal economy merupakan dua hal yang selalu bergandengan antara satu dengan lainnya. Secara umum, Barbara Harriss White (1999) mendefinisikan praktik ekonomi informal sebagai bentuk transaksi ekonomi di luar institusiformal. Modus operandi dari praktik ekonomi informal ini cukup beragam. Diantaranya, tulis Barbara Harriss adalah, (1) manipulasi kebijakan publik untuk kepentingan pengusaha; (2) transaksi “bawah tangan” antara penguasa dan pengusaha dalam tender proyek-proyek pemerintah; dan (3) pemaksaan swastanisasi aset-aset negara. Dari sisi pengusaha, praktik ekonomi informal ini dapat diartikulasi sebagai bagian dari konpensasi atas perannya sebagai donatur bagi si pejabat pemerintah dalam mendapatkan kursi kekuasaan. Sementara, dari sisi pejabat pemerintah, praktik ekonomi informal tersebut memiliki fungsi ganda, yaitu selain merupakan bagian dari bentuk “politik balas budi”, juga merupakan arena untuk mendapatkan keuntungan ekonomi jangka pendek (seeking short term economic benefit).





Bab III
Penutup

*        Simpulan dan Rekomendasi
Sedikitnya ada tiga poin penting sebagai kesimpulan umum dari hasil temuan penelitian tentang relasi kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca pilkada di provinsi
Gorontalo.
Pertama, bila dilihat dari latar belakang karier yang dimiliki pasangan Gubernur dan
Wakil Gubernur yang terpilih dan memenangkan perolehan suara pada proses pilkada adalah
bersatatus sebagai mantan pejabat tinggi pemerintah daerah (incumbent).
Kedua, karakteristik dari relasi kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
cenderung terkonsentrasi ditangan sekelompok elit atau apa yang disebut dengan oligarkhi
kekuasaan. Basis dari konstruksi oligarkhi kekuasaan ini, diantaranya adalah belandaskan pada
kekuatan partai politik, ikatan kekerabatan, dan hubungan keluarga. Sementara, modus dari
praktik konsentrasi kekuasan itu sendiri lebih mendekati model monopolar, dimana konsentrasi
kekuasaan cenderung berporos pada satu kutub yaitu Gubernur yang didukung oleh Wakil
Gubernur dan sekretaris daerah.
Ketiga, praktik oligarkhi kekuasaan tersebut relatif dapat berjalan secara efektif dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah karena ditopang oleh keberadaaan pemangku otoritas
informal yang berperan sebagai aktor penghubung (connected actor) antara para pejabat
pemerintahan daerah dengan masyarakat pada umumnya, dan dengan para pengusaha pada
khususnya. Pemangku otoritas informal inilah dalam banyak hal bertindak sebagai shadow
political and business manager dari para pejabat pemerintahan daerah, dalam memiliki pengaruh
dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan. Di provinsi Gorontalo, yang
berperan sebagai shadow political and business manager adalah DPD partai Golkar tingkat
provinsi. Temuan penelitian ini menarik untuk dicatat karena secara tidak langsung
mengingatkan bahwa modal relasi kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca
pilkada di provinsi Gorontalo dalam banyak hal merupakan ‘reinkarnasi’ dari modal
pemerintahan orde baru.
Pertanyaannya kemudian adalah, secara teoritis, bagaimana memaknai kesimpulan
umum hasil temuan studi tersebut pada konteks dinamika reformasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah pada khususnya, dan pada konteks reformasi sistem politik di Indonesia
pada umumnya? Bila mengikuti logika perspektif demokrasi, dapat dipastikan bahwa
kesimpulan umum hasil studi di atas relatif bertolak belakang dengan ekspektasi yang
diinginkan. Menurut “matematika” demokrasi, sebagaimana telah disinyalir oleh Smith (1985)
dan Arghiros (2001), bahwa melalui praktik pilkada, secara langsung diyakini akan mampu
melahirkan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang lebih akuntabel dan responsif terhadap
tuntutan masyarakat serta semakin tumbuhnya persamaan politik (political equality) di tingkat
lokal. Sementara temuan studi di Gorontalo mengindikasikan bahwa pilkada justru telah
melahirkan, antara lain, praktik oligarkhi kekuasaan, dan semakin maraknya peran shadow
political and business manager. Menyikapi kenyataan ini, dapat dipastikan bahwa secara teoritis
temuan studi di Gorontalo tidak cukup dipahami hanya dengan menggunakan perspektif
demokrasi, tetapi juga harus dimaknai berdasarkan teori elit (elitist theory).
Roberth Michels (1962) adalah salah seorang pendukung elitist theory yang pertama kali
secara eksplisit menyebut terminologi oligarkhi dalam struktur kekuasaan, yang selanjutnya
lebih populer dikenal dengan sebutan iron law of oligarchy (hukum besi oligarkhi). Menurut
Michels (1962), nilai penting dari ide demokrasi liberal adalah terletak pada keyakinan akan
eksistensi sistem pemerintahan sendiri oleh masyarakat (self-goverment of masses) yang
dipadukan dengan proses pengambilan keputusan oleh lembaga perwakilan (popular
assemblies). Pada konteks inilah, dapat dimengerti bila kemudian, lembaga pemilihan umum,
termasuk didalamnya, pemilihan anggata legislatif, pemilihan Presiden, dan pemilihan Kepala
daerah, menjadi sangat krusial dalam konsepsi demokrasi liberal. Ini karena, melalui lembaga
pemilihan umum itulah, proses penyerahan kedaulatan oleh masyarakat kepada para kandidat elit
politik yang akan mengemban tugas sebagai pengambil keputusan, antara lain, dilakukan.
Namun demikian, tegas Michels (1962), pada tingkat realitas, konsepsi demokrasi liberal
tersebut telah gagal dalam berhadapan dengan struktur kekuasaan yang bersifat oligarkhi.
Akibatnya, pemerintahan langsung oleh masyarakat (direct government by the masses)
sebagaimana dicita-citakan oleh para pendukung perspektif demokrasi liberal hanyalah utopia

belaka, karena yang terjadi justru pemerintahan oleh sekelompok elit politik.

0 komentar:

Posting Komentar