Sabtu, 24 Desember 2016

Studi Pemanfaatan Layanan VCT oleh kelompok risti di Puskesmas Singgani Kota Palu



STUDI PEMANFAATAN LAYANAN KLINIK VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING (VCT) OLEH KELOMPOK
RISTI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
SINGGANI KOTA PALU




SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)



Oleh
SUSILAWATI
12.1.10.7.1.028







FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH PALU 
TAHUN 2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Epidemi  Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immuno Deficiency Sindrom(AIDS) di dunia telah menjadi salah satu masalah global yang memprihatinkan baik di negara maju maupun di negara berkembang.
Telah ditetapkan Permenkes RI Nomor 21 Tahun 2013 tentang penanggulangan HIV dan AIDS yang isinya memuat tentang upaya dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Penanggulangan adalah segala upaya yang meliputi pelayanan promotif, preventif, diagnosis, kuratif dan rehabilitatif yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan, angka kematian, membatasi penularan serta penyebaran penyakit agar wabah tidak meluas ke daerah lain serta mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya.
Klinik VCT merupakan layanan kesehatan untuk medeteksi lebih awal terjadinya kasus-kasus HIV/AIDS dengan bantuan dokter ataupun konselor yang bertugas di klinik ini. Konseling dan Deteksi HIV secara sukarela / VCT (Voluntary Counselling and Testing), saat ini sudah dikenal luas di dunia internasional sebagai suatu strategi yang efektif dan sangat penting, baik bagi pencegahan maupun pelayanan HIV/AIDS terutama di kalangan yang berisiko tinggi terkena HIV/AIDS.
Manfaat VCT telah terbukti menjadi strategi yang efektif untuk memfasilitasi perubahan perilaku untuk pencegahan HIV dan mengurangi perilaku berisiko. Penelitian yang dilakukan oleh Family Health International di Kenya, Tanzania, dan Trinidad, berkolaborasi dengan UNAIDS, WHO dan Pusat Studi Pencegahan AIDS, Universitas California di San Francisco membuktikan bahwa VCT adalah suatu strategi yang efektif dan cost-effective, untuk memfasilitasi perubahan perilaku.
Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan antiretroviral (ARV) dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS yang bertujuan untuk perubahan perilaku ke arah perilaku lebih sehat dan lebih aman (Kepmenkes RI, 2005).
VCT terbuka untuk siapa saja, yang secara sukarela tanpa paksaan ingin memeriksakan dirinya terhadap status kesehatannya. Baik untuk orang yang sehat tanpa gejala HIV (asimtomatik) maupun untuk orang dengan tada-tanda HIV. Namun, VCT terutama disarankan untuk dilakukan oleh orang-orang dengan risiko tinggi terhadap penularan virus HIV-AIDS (Depkes RI, 2008).
Pemanfaatan layanan VCT sangat penting di kalangan risiko tinggi karena mereka menjadi kelompok kunci penularan HIV-AIDS. Hubungan seksual, baik heteroseksual maupun homoseksual adalah model utama penularan HIV. Tidak dapat dipungkiri perilaku seksual di kelompok risiko tinggi komunitas waria memberikan kontribusi penularan HIV/AIDS yang signifikan.
Penyebab meningkatnya prevalensi HIV-AIDS karena kurangnya kesadaran untuk memanfaatkan layanan VCT terutama bagi orang risiko tinggi. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi orang risiko tinggi untuk memanfaatkan VCT. Model perubahan perilaku Health Belief Model (HBM) yang dikemukakan oleh Rosenstock, menyatakan bahwa perilaku individu ditentukan oleh motif dan kepercayaan yang meliputi persepsi kerentanan terhadap penyakit (perceived susceptibility), persepsi keseriusan terhadap ancaman kesehatan (perceived seriousness), persepsi manfaat dan hambatan terhadap perubahan perilaku kesehatan (perceived benefit and barrier), self efficacy, serta faktor pendorong (cues to action). Dalam konsep ini diasumsikan bahwa seseorang akan melakukan tindakan bila merasakan efek negatif dari situasi yang dialaminya, mempunyai harapan akan adanya perbaikan dan ada keyakinan akan keberhasilan suatu tindakan.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi orang risiko tinggi untuk memanfaatkan VCT. Kerentanan dan ancaman yang dirasakan terhadap HIV/AIDS yang rendah menyebabkan keengganan mereka memanfaatkan VCT, Terdapat berbagai hal yang menjadi hambatan untuk mengakses VCT di antaranya permasalahan jumlah pelayanan VCT yang masih terbatas di puskesmas dan rumah sakit tertentu memang mengakibatkan kesulitan bagi populasi kunci untuk mengaksesnya mengingat saat ini epidemi HIV-AIDS menimbulkan jumlah populasi berisiko yang besar dan tersebar pada wilayah yang sangat luas.
Selain itu dari faktor individu itu sendiri yang takut dengan hasil tes yang positif, merasa tidak berisiko terhadap HIV/AIDS, serta perasaan takut distigma. Faktor keluarga ikut menjadi penghalang seperti larangan suami terhadap istri untuk melakukan VCT. Stigma dan diskriminasi masyarakat yang tinggi dan sensitif terhadap masalah HIV/AIDS (Setia, 2012).
Pada tahun 2014 telah terdapat 1.391 layanan klinik VCT yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia Klinik VCT hingga September 2014 yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat dengan jumlah kunjungan yaitu 762.624 kunjungan (Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, 2014).
Sementara itu, di Sulawesi Tengah terdapat 7 klinik layanan  VCT, pada tahun 2015 pemanfaatan layanan klinik VCT di Kota Palu sebanyak 2.945 total kunjungan masing-masing data dari Puskesmas Birobuli sebanyak  516 kunjungan, Puskesmas Kamonji sebanyak 414 kunjungan, Puskesmas Pantoloan sebanyak 170 kunjungan, Puskesmas Talise sebanyak 433 kunjungan dan Puskesmas Singgani sebanyak 158 kunjungan, sementara data dari 2 rumah sakit yaitu RSUD Anutapura sebanyak 1.116 kunjungan dan RSUD Undata Palu sebanyak 138 kunjungan (KPA Propinsi Sulawesi Tengah, 2015).
Sulawesi Tengah dengan jumlah 686 kasus HIV dan 399 kasus AIDS serta  itu sebanyak 159 Meninggal dunia. Jika menggunakan estimasi kasus 1:100 maka di Sulawesi Tengah diprediksi ada sekitar 108.500 kasus, sungguh angka yang sangat banyak.  Karena itulah kasus HIV/AIDS menggambarkan seperti gunung es, puncaknya saja yang terlihat  padahal yang tidak terlihat lebih banyak lagi (KPA Propinsi Sulawesi Tengah, 2015).
Berdasarkan data hasil pemetaan populasi beresiko yang dilakukan oleh KPA Propinsi Sulawesi Tengah, Di Kota Palu terdapat 1.098 populasi beresiko yang tersebar di 98 hotspot dimana diantaranya terdiri dari WPSL sebanyak 211 orang, WPSTL sebanyak 392 orang, Waria sebanyak 120 orang dan LSL sebanyak 375 orang (KPA Propinsi Sulawesi Tengah, 2015).
Pada tahun 2015 pemanfaatan layanan klinik VCT di Kota Palu sebanyak 2.945 total kunjungan masing-masing data dari Puskesmas Birobuli sebanyak  516 kunjungan, Puskesmas Kamonji sebanyak 414 kunjungan, Puskesmas Pantoloan sebanyak 170 kunjungan, Puskesmas Talise sebanyak 433 kunjungan dan Puskesmas Singgani sebanyak 158 kunjungan, sementara data dari 2 rumah sakit yaitu RSU Anutapura sebanyak 1.116 kunjungan dan RSUD Undata Palu sebanyak 138 kunjungan (Dinkes Kota Palu, 2015).
Melihat permasalahan kasus HIV dan AIDS yang terus meningkat  dan penyebarannya yang cepat dibutuhkan program jangka panjang yang mampu menurunkan angka kasus HIV/AIDS. Salah satu program yang  dilaksanakan Pemerintah untuk mencegah penularan HIV-AIDS adalah Voluntary Counseling and Testing (VCT). VCT perlu dilakukan karena merupakan pintu masuk untuk menuju ke seluruh layanan HIV-AIDS.
Puskesmas diharapkan sebagai tonggak utama dalam upaya Preventif dan Promotif  bagi masyarakat, khususnya dalam upaya mendeteksi dini penyakit HIV/AIDS melalui pemanfaatan layanan klinik VCT oleh masyarakat, namun berdasarkan data tersebut diketahui bahwa dari 5 Puskesmas di Kota Palu yang menyediakan layanan klinik VCT, jumlah kunjungan paling rendah yaitu di Puskesmas Singgani, Sehingga peneliti melakukan penelitian tentang studi pemanfaatan layanan klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT) oleh kelompok risti di wilayah kerjs Puskesmas Singgani Kota Palu.
B.            Rumusan Masalah
Berdasarkan latar Belakang maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana gambaran pemanfaatan layanan klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT) oleh kelompok risti di wilayah kerja puskesmas singgani kota palu? ”.
C.           Tujuan Penelitian
1.        Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pemanfaatan layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) oleh kelompok risti di wilayah kerja Puskesmas Singgani Kota Palu”.
2.        Tujuan Khusus
a.          Untuk mengetahui gambaran pemanfaatan layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) berdasarkan pengetahuan kelompok risti di wilayah kerja Puskesmas Singgani Kota Palu.
b.         Untuk mengetahui gambaran pemanfaatan layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) berdasarkan stigma dan diskriminasi terhadap kelompok risti di wilayah kerja Puskesmas Singgani Kota Palu.
c.          Untuk mengetahui gambaran pemanfaatan layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) berdasarkan dukungan petugas kesehatan terhadap kelompok risti di wilayah kerja Puskesmas Singgani Kota Palu.
D.           Manfaat Penelitian
1.        Bagi Institusi
Sebagai salah satu sumber referensi bagi kepentingan keilmuan dalam mengatasi masalah yang sama atau terkait dimasa yang akan datang.
2.        Bagi Instansi
a.         Memperoleh gambaran mengenai layanan klinik VCT di Kota Palu
b.         Memperoleh gambaran mengenai hambatan dalam pemanfaatan layanan VCT oleh kelompok risti (WPS, LSL, Waria, pelanggan WPS) di Puskesmas khususnya di Kota Palu.
c.         Sebagai bahan masukan dan pertimbangan untuk menentukan langkah strategis dalam upaya menarik minat kelompok risti ataupun masyarakat untuk menggunakan layanan klinik VCT di Puskesmas.


3.        Bagi Peneliti
Memberikan pengalaman dan pemahaman dalam merencanakan atau melaksanakan penelitian serta menyusun laporan hasil penelitian, dan menambah wawasan pengetahuan bagi peneliti dan umumnya bagi mahasiswa Universitas Muhammadiyah Palu Khususnya Fakultas Kesehatan Masyarakat.




                                                         












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.           Definisi HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia. HIV ini menyerang sel-sel darah putih yang berfungsi untuk melindungi tubuh dari serangan penyakit. Salah satu unsur yang penting dalam sistem kekebalan tubuh adalah sel CD4 yang merupakan salah satu jenis sel darah putih. Namun sel CD4 dibunuh ketika HIV menggandakan diri dalam darah. Semakin lama individu terinfeksi HIV maka semakin banyak sel CD4 dibunuh sehingga jumlah sel semakin rendah dan kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk melindungi diri dari infeksi semakin rendah. Seseorang yang terinfeksi HIV tetapi tanpa gejala disebut HIV positif dan ketika gejala seperti infeksi oportunistik yang lain muncul maka individu tersebut memasuki fase AIDS.
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disertai oleh infeksi HIV. Gejala-gejala tersebut tergantung dari infeksi oportunistik yang menyertainya. Infeksi oportunistik terjadi karena menurunnya daya tahan tubuh yang disebabkan rusaknya imun tubuh akibat infeksi HIV tersebut.
1.        Cara Penularan HIV/AIDS
HIV tidak dapat tersebar dengan sendirinya atau bertahan lama diluar tubuh manusia. Virus tersebut membutuhkan cairan tubuh manusia untuk bisa hidup, bereproduksi dan mampu menularkan ke orang lain. Virus tersebut ditularkan melalui darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu dari pengidap HIV. Widjajanti (2009) mengatakan ada tiga metode penyebaran virus HIV tersebut, yakni:
a.         Hubungan seks tidak aman
Hubungan seks melalui vagina, anal, dan oral dengan pengidap HIV atau penderita AIDS merupakan cara yang banyak terjadi pada penularan HIV dan AIDS.
b.         Melalui Darah yang Tercemar HIV
Penyebaran virus HIV juga terjadi ketika orang menggunakan jarum suntik atau alat injeksi yang tidak steril secara bersama, biasanya terjadi di kalangan para pengguna narkoba yang di antara mereka ada yang mengidap HIV. Penyebaran juga terjadi di beberapa tempat-tempat perawatan kesehatan yang tidak memenuhi standar atau melalui transfusi darah yang belum dilakukan screening terhadap HIV. Penggunaan peralatan tato dan alat tindik yang tidak steril dapat juga menyebarkan virus HIV.
c.         Melalui Ibu kepada Anaknya
Seorang wanita yang mengidap HIV dapat menularkan virus HIV kepada anaknya pada saat kehamilan, kelahiran atau pada masa menyusui.


2.        Gejala HIV/AIDS
Orang yang terinfeksi virus HIV belum tentu AIDS. Perlu waktu 3-10 tahun untuk menjadi AIDS. HIV positif belum tentu AIDS, tetapi akhirnya akan menjadi AIDS, dan status HIV positif tidak pernah berubah menjadi HIV negatif. Secara ringkas, tahapan perubahan dari HIV ke AIDS yaitu:
a.         Fase 1
Pada fase ini individu sudah terpapar dan terinfeksi, tetapi ciri-ciri infeksi belum terlihat meskipun dilakukan tes darah, namun bisa juga mengalami gejala ringan, seperti flu (biasanya 2-3 hari dan sembuh sendiri). Umur infeksi 3 – 6 bulan.
b.         Fase 2
Umur infeksi 3 – 10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase ini individu sudah positif HIV, tapi belum menampakkan gejala sakit
(atau bisa saja menampakkan gejala ringan, misalnya flu 2–3 hari dan sembuh sendiri) dan sudah dapat menularkan kepada orang lain.
c.          Fase 3
Gejala-gejala penyakit mulai muncul, antara lain keringat yang berlebihan di malam hari, diare terus-menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang tidak sembuh-sembuh, nafsu makan berkurang dan badan menjadi lemah, serta berat badan terus berkurang, dan system kekebalan tubuh mulai berkurang. Pada fase ini belum disebut sebagai gejala AIDS.
d.        Fase 4
Sudah masuk pada fase AIDS, ada gejala utama dan gejala minor. Jika seseorang memiliki minimal dua dari tiga gejala utama dan satu dari lima gejala minor, maka dapat disimpulkan menderita AIDS.
1)        Gejala utama yaitu:
a)        Demam berkepanjangan lebih dari tiga bulan,
b)        Diare kronis lebih dari satu bulan
c)        Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam tiga bulan.
2)        Gejala minor yaitu:
a)        Batuk kronis lebih dari satu bulan Infeksi pada mulut dan tenggorokan yang disebabkan oleh Candida albicans,
b)        Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh tubuh,
c)        Munculnya Herpes Zoster yang berulang
d)       Adanya bercak-bercak gatal di seluruh tubuh.
3.        Kelompok Risiko Tinggi HIV/AIDS
Kelompok masyarakat yang mempunyai perilaku risiko tinggi tertular HIV/AIDS adalah:


a.         Pengguna napza suntik (injection drug users / IDU)
Secara umum  Napza suntik adalah penyalahgunaan narkotika yang cara mengkonsumsinya adalah dengan memasukkan obat-obatan berbahaya ke dalam tubuh melalui alat bantu jarum suntik. Pengguna Napza suntik yang umumnya disebut IDU (Injecting Drug User) yang berarti individu yang menggunakan obat terlarang (narkotika) dengan cara disuntikkan menggunakan alat suntik ke dalam aliran darah. Penggunaan napza melalui jarum suntik bergantian adalah salah satu cara paling efisien untuk menularkan HIV/AIDS di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia, sampai saat ini (Nara, 2014).
b.         Pasangan Penasun yang bukan penasun (Partners of IDU)
Pasangan  penasun adalah pasangan seks penasun baik pasangan seks tetap (istri/suami/pacar), pasangan seks kasual (singkat dan sewaktu-waktu, bisa teman atau kenalan) dan pasangan seks komersial. Sebagian dari pasangan itu juga memiliki pasangan seksual lain, termasuk pada pasangan tetap penasun. penasun cenderung tidak menggunakan kondom jika berhubungan seks dengan pasangan yang tetap, tinggal serumah, dikenal dalam jangka waktu lama. Laporan Program Penanggulangan HIV/AIDS pada Pengguna Napza Suntik Tahun 2009 yang diterbitkan Family Health International – Program Aksi Stop AIDS menyebutkan, hanya sekitar 20% penasun menyatakan tidak memiliki pasangan seksual, selebihnya memiliki variasi pasangan seks yang beragam seperti memiliki pasangan tetap, pasangan tidak tetap, pasangan komersial atau kombinasi dari ketiga jenis pasangan seks tersebut.
c.         Wanita Penjaja Seks (WPS) / Female Sex Worker (FSW)
Wanita pekerja seks (WPS) adalah merupakan kelompok resiko tinggi terkena IMS mengingat pada kelompok ini terbiasa melakukan aktivitas seksualnya dengan pasangan yang tidak tetap, dengan tingkat mobilitas yang sangat tinggi di kelompok tersebut. WPS terbagi menjadi dua, yaitu:
1)        Wanita Penjaja Seks Langsung (WPSL) adalah wanita yang beroperasi secara terbuka sebagai penjaja seks komersial.
2)        WPS Tidak Langsung (WPSTL) adalah wanita yang beroperasi secara terselubung sebagai penjaja seks komersial, yang biasanya bekerja pada bidang-bidang pekerjaan tertentu seperti bar, panti pijat dan sebagainya.
d.        Pelanggan WPS (Client of FSW)
Pelanggan WPS adalah kelompok risiko tinggi hal ini disebabkan oleh masih terdapat banyak pelanggan yang tidak mau menggunakan kondom saat berhubungan seks dengan WPS. Pada tahun 2011, sepertiga perempuan pekerja seks menyatakan tidak menggunakan kondom dengan pelanggan terakhir mereka dan kira-kira 39 persen laki-laki pelanggan perempuan pekerja seks tidak menggunakan kondom dalam hubungan seksual komersial terakhir mereka.
e.         Pasangan Pelanggan WPS (Partner of FSW Client)
Dalam situasi ini, laki-laki dapat menjadi jembatan penularan  pada pasangan seks yang sesungguhnya tidak berperilaku risiko tinggi. Bahkan diantara mereka memiliki tiga jenis pasangan seks yakni pasangan tetap, WPS dan pasangan tidak tetap. Mereka dapat menularkan HIV ke pasangannya melalui hubungan seks tanpa penggunaan kondom.
f.          Lelaki Suka Seks dengan Lelaki (LSL) / (Male Sex with Male)
Lelaki suka Seks dengan Lelaki (LSL) adalah  pria  yang mengakui dirinya sebagai orang yang biseksual/homoseksual. Aktivitas seks mereka umumnya adalah seks anal dan oral. Seks anal atau melakukan hubungan seks melalui anus mempunyai risiko perlukaan pada anus (karena anus tidak elastis), sehingga dengan adanya luka di daerah anus, jika pasangan seks terkena IMS dan HIV maka akan lebih mudah ditularkan. Tingkat penggunaan kondom juga masih rendah, demikian juga halnya dengan informasi tentang penularan IMS dan HIV/AIDS.
g.         Waria (Transvestite)
Wanita-pria (waria) adalah pria yang berjiwa dan bertingkah laku, serta mempunyai perasaan seperti wanita. Tidak dapat dipungkiri perilaku seksual di kelompok risiko tinggi komunitas waria memberikan kontribusi penularan HIV/AIDS yang signifikan. Yayasan Riset AIDS Amerika, AMFAR menyimpulkan, MSM (Man that have Sex with Man) dan waria ternyata berisiko 19 kali lebih besar tertular penyakit HIV ketimbang masyarakat umum, AMFAR mengeluarkan kesimpulan ini setelah melakukan penelitian di 129 negara.
h.         Pelanggan Waria (Client of Transvestite)
Pelanggan waria adalah laki-laki, aktivitas seks mereka umumnya adalah seks anal dan oral. Perilaku seks yang tidak aman menyebabkan penularan HIV dapat terjadi.
i.           Warga Binaan Permasyarakatan (Prisoner)
Penularan penyakit HIV/AIDS terjadi juga pada penghuni di Lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan). Hal ini dikarenakan penghuni Rutan/Lapas sebagian besar adalah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) pengguna narkoba. Pemakaian jarum suntik yang bergantian  memang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penularan HIV-AIDS dengan cepat.
B.            Klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT)
Voluntary Counseling and Testing (VCT) adalah konseling dan testing HIV dan AIDS secara sukarela yang menjadi salah satu strategi kesehatan berupa pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV dan AIDS berkelanjutan. Layanan VCT dapat dilakukan di sarana kesehatan yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau masyarakat yang berlandaskan pada pedoman konseling dan testing HIV dan AIDS sukarela, agar mutu layanan dapat dipertanggungjawabkan (Depkes, 2005).
Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan antiretroviral (ARV) dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS yang bertujuan untuk perubahan perilaku ke arah perilaku lebih sehat dan lebih aman (Kepmenkes RI, 2005).
1.        Prinsip Pelayanan VCT
VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan yang berdasarkan prinsip:
a)         Sukarela dalam melaksanakan testing HIV
Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien, tanpa paksaan dan tanpa tekanan. Keputusan untuk dilakukan tes HIV sepenuhnya diputuskan oleh klien.
b)        Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas
Layanan VCT harus bersifat professional, menghargai hak dan martabat semua klien. Hal ini berarti semua informasi yang disampaikan klien, begitu pula terhadap semua informasi tertulis, harus dijaga kerahasiaannya oleh konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan diluar konteks kunjungan klien.
c)         Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif
Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi prilaku beresiko. Dalam VCT dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam menerima hasil testing dan tahapan penerimaan hasil testing positif.
b.      Testing merupakan salah satu komponen dari VCT
WHO dan telah memberikan pedoman yang dapat digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti dalam pelaksanaan kegiatan konseling pasca testing yang dilakukan oleh konselor yang sama atau konselor lain yang disetujui oleh klien ( Kepmenkes, 2005)
2.        Model Pelayanan VCT
VCT diimplementasikan dalam berbagai setting dan sangat bergantung pada kondisi dan situasi daerah setempat, kebutuhan masyarakat dan profil klien, seperti individual atau pasangan, laki-laki atau perempuan, dewasa atau anak muda. Adapun model layanan VCT terdiri dari:
a)         Mobile VCT (Penjangkauan dan keliling)
Mobile VCT adalah model layanan dengan penjangkauan dan keliling yang dapat dilaksanakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau layanan kesehatan yang langsung mengunjungi sasaran kelompok masyarakat yang memiliki perilaku berisiko atau berisiko tertular HIV/AIDS di wilayah tertentu. Layanan ini diawali dengan survei atau penelitian atas kelompok masyarakat di wilayah tersebut dan survei tentang layanan kesehatan dan layanan dukungan lainnya di daerah setempat.
b)        Statis VCT (Klinik VCT tetap)
Statis VCT adalah sifatnya terintegrasi dalam sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya, artinya bertempat dan menjadi bagian dari layanan kesehatan yang telah ada. Sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya harus memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan klinik VCT,  layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan terkait dengan HIV/AIDS.
3.        Tahapan Pelayanan VCT
Tahapan pelayanan VCT secara sukarela meliputi konseling pra testing, testing HIV dalam VCT, konseling pasca testing dan pelayanan dukungan berkelanjutan.
a.         Pre-test counseling
Pre-test counseling adalah diskusi antara klien dan konselor yang bertujuan untuk menyiapkan klien untuk testing, memberikan pengetahuan pada klien tentang HIV/AIDS. Isi diskusi yang disampaikan adalah klarifikasi pengetahuan klien tentang HIV/AIDS, menyampaikan prosedur tes dan pengelolaan diri setelah menerima hasil tes, menyiapkan klien menghadapi hari depan, membantu klien memutuskan akan tes atau tidak, mempersiapkan informed consent dan konseling seks yang aman.
b.         HIV testing
Pada umumnya, tes HIV dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi dalam darah seseorang. Jika HIV telah memasuki tubuh seseorang, maka di dalam darah akan terbentuk protein khusus yang disebut antibodi. Antibodi adalah suatu zat yang dihasilkan sistem kekebalan tubuh manusia  sebagai reaksi untuk membendung serangan bibit penyakit yang masuk. Pada umumnya antibodi terbentuk di dalam darah seseorang memerlukan waktu 6 minggu sampai 3 bulan tetapi ada juga sampai 6 bulan bahkan lebih. Jika seseorang memiliki antibodi terhadap HIV di dalam darahnya, hal ini berarti orang itu telah terinfeksi HIV.
Tes HIV yang umumnya digunakan adalah Enzyme Linked Imunosorbent Assay (ELISA), Rapid Test dan Western Immunblot Test. Setiap tes HIV ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang berbeda. Sensitivitas adalah kemampuan tes untuk mendeteksi adanya antibodi HIV dalam darah sedangkan spesifisitas adalah kemampuan tes untuk mendeteksi antibodi protein HIV yang sangat spesifik.

c.         Post-test counseling
Post-test counseling adalah diskusi antara konselor dengan klien yang bertujuan menyampaikan hasil tes HIV klien, membantu klien beradaptasi dengan hasil tes, menyampaikan hasil secara jelas, menilai pemahaman mental emosional klien, membuat rencana dengan menyertakan orang lain yang bermakna dalam kehidupan klien, menjawab, menyusun rencana tentang kehidupan yang mesti dijalani dengan menurunkan perilaku berisiko dan perawatan, dan membuat perencanaan dukungan.
C.           Pemanfaatan Layanan Klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT)
Kebutuhan kesehatan (health need) akan pelayanan kesehatan pada dasarnya bersifat obyektif karena itu untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok ataupun masyarakat, upaya untuk memenuhinya bersifat mutlak. Tuntutan kesehatan (health demands) bersifat subjektif. Tuntutan kesehatan banyak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan sosial ekonomi (Setia, 2012).
Pemanfatan merupakan kegunaan dari sebuah program sehingga program  ini dapat berguna baik  oleh individu atau  masyarakat. Proses peningkatan pelayanan  kesehatan  tentunya  pemanfaatan sebuah  program  menjadi bagian dari output atau hasil dari sebuah kebijakan yang di buat. Tolak ukur pemanfaatan pelayanan Puskesmas pelayanan adalah tercapainya target kuantitas kunjungan ke Puskesmas.
Pemanfaatan dipengaruhi pelayanan kesehatan oleh masyarakat dipengaruhi oleh:
1.         Keterjangkauan lokasi tempat pelayanan
Tempat pelayanan yang tidak strategis sulit dicapai, menyebabkan berkurangnya pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat.
2.        Jenis dan kualitas pelayanan yang tersedia
Jenis dan kualitas pelayanan yang kurang memadai menyebabkan rendahnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, hal ini didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana di pelayanan kesehatan.
3.        Keterjangkauan informasi
Informasi yang kurang menyebabkan rendahnya penggunaan pelayanan kesehatan yang ada.
4.        Tingkat sosial ekonomi
Tingkat sosial ekonomi juga berpengaruh pada keputusan masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan. Hal ini mengingat bahwa kesadaran seseorang untuk hidup sehat akan berbeda, juga banyaknya alternatif pilihan untuk memperoleh pengobatan. Karakteristik sosial ekonomi pengunjung dalam hal ini ditunjukkan oleh tingkat pendidikan, pendapatan, dan mata pencaharian.


Beberapa faktor yang memengaruhi tingkat permintaan pemanfaatan pelayanan kesehatan telah digolongkan oleh beberapa ahli dalam beberapa model, yaitu :
1.        Model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model)
Model kepercayaan adalah suatu bentuk penjabaran dari model sosio-psikologis seperti disebutkan di atas. Munculnya model ini didasarkan pada kenyataan bahwa problem-problem kesehatan ditandai oleh kegagalan-kegagalan orang atau masyarakat untuk menerima usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh provider. Kegagalan ini akhirnya yang menjelaskan perilaku pencegahan penyakit (preventive health behavior) yang oleh Becker (1974) dikembangkan dari teori lapangan (Lewin, 1954) menjadi model kepercayaan kesehatan (health belief model).
Teori Lewin menganut konsep bahwa individu hidup pada lingkup kehidupan sosial (masyarakat). Di dalam kehidupan ini individu akan bernilai, baik positif maupun negative, di suatu daerah atau wilayah terentu. Apabila seseorang keadaannya atau berada pada daerah positif, maka berarti ia ditolak dari daerah negatif. Implikasinya di dalam kesehatan adalah, penyakit atau sakit adalah suatu daerah negatif sedangkan sehat adalah wilayah positif.
Apabila individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakitnya, ada  empat variabel kunci yang terlibat di dalam tindakan tersebut, yakni kerentanan yang dirasakan, manfaat yang diterima dan rintangan yang di alami dalam tindakannya melawan penyakitnya, dan hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2010).
a.         Kerentanan yang dirasakan (Perceived susceptibility)
Agar seorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus merasakan bahwa ia rentan (susceptibility) terhadap penyakit tersebut. Dengan kata lain, suatu tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul bila seseorang telah merasakan bahwa ia atau keluarga rentan terhadap penyakit tersebut.
b.         Keseriusan yang dirasakan (Perceived serioussness)
Tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan terhadap suatu penyakit akan didorong pula oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu atau masyarakat. Penyakit polio, misalnya, akan dirasakan lebih serius dibandingkan dengan flu. Oleh karena itu, tindakan pencegahan polio akan lebih banyak dilakukan bila dibandingkan dengan pencegahan (pengobatan) flu.
c.         Manfaat dan hambatan yang dirasakan (Perceived benefit and barriers)
Apabila individu merasa dirinya rentan untuk penyakit-penyakit yang dianggap gawat (serius), ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan ini tergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan-rintangan yang ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut. Pada umumnya manfaat tindakan lebih menentukan dari pada rintangan yang mungkin ditemukan di dalam melakukan tindakan tersebut misalnya akses yang sulit, stigma dan diskriminasi serta ketakutan akan hasil VCT dan kerahasiaan status individu.
d.        Isyarat atau tanda-tanda pendorong (cues to action)
Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerantanan, kegawatan dan keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang berupa faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor tersebut, misalnya, pesan-pesan pada media massa berupa informasi, nasihat atau anjuran kawan-kawan atau anggota keluarga lain dari si sakit, dan sebagainya.
Pemanfaatan klinik VCT  berarti memanfaatkan tahap VCT secara lengkap yaitu dengan mengikuti seluruh tahapan VCT berupa konseling pra testing, testing HIV dan konseling pasca testing.
2.        Model Perilaku Lawrence Green  (1980)
Perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada didalam diri seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia dalam hidupnya mempunyai keinginan mempunyai kesehatan yang optimal sehingga jika tubuh merasakan timbulnya gejala yang menganggu kesehatannya maka dia berusaha untuk melakukan tindakan pencegahan atau pengobatan. Munculnya keinginan untuk melakukan tindakan tersebut menjadi bagian dari perilaku kehidupan manusia.
Menurut Green (1980), model perilaku kesehatan  menjelaskan tentang konsep perilaku  dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Perilaku masyarakat untuk mendapatkan pelayanan di pengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu (Notoatmodjo, 2007) :
a.         Predisposing  factor  atau  faktor  pemungkin yang meliputi: pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai yang dianut, persepsi, motivasi dan demografi.
b.         Enabling factor  atau faktor pendukung yang meliputi ketersediaan sarana dan prasarana yang ada dipelayanan kesehatan.  
c.         Reinforcing factor  atau  faktor Pendorong terdiri dari sikap dan perilaku para petugas kesehatan dan petugas lainnya.
Faktor yang mempengaruhi pemanfaatan layanan klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT) oleh kelompok risti di wilayah kerja puskesmas Singgani Kota Palu yaitu:
1.        Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Menurut Notoatmodjo (2010) pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. pengetahuan terdiri dari :
a.    Pengetahuan Produk, meliputi kumpulan berbagai macam  informasi mengenai karakteristik produk, manfaat, dan kepuasan yang diperoleh dari produk. Dalam hal ini Layanan VCT.
b.    Pengetahuan pembelian, terdiri atas pengetahuan tempat dan pengetahuan lokasi produk. Tempat dan lokasi mendapatkan layanan VCT.
c.    Pengetahuan pemakaian, pengetahuan konsumen mengenai penggunaan produk dengan baik dan benar. Pengetahuan mengenai prosedur mendapatkan layanan VCT serta manfaat yang diperoleh dari layanan VCT.
Pemanfaatan VCT dapat dilihat berdasarkan pengetahuan terdiri dari beberapa tingkatan (Notoatmodjo, 2010) yaitu:
1)        Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Pada tingkat ini, mengingat kembali (recall) mengenai sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya. Untuk mengukur bahwa orang tahu, antara lain mendefinisikan tentang HIV dan AIDS ataupun VCT.
2)        Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. Dalam hal ini, responden mampu menjelaskan pentingnya pemanfaatan VCT.
3)        Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Dalam hal ini, misalnya dapat melaksanakan upaya  pencegahan penularan HIV/AIDS.
4)        Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek kedalam komponen-komponen dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5)        Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk keseluruhan yang baru.
6)        Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
2.        Stigma dan Diskriminasi
Dalam pengertian yang sederhana, stigma adalah sikap atau attitude negatif yang terkait dengan keyakinan atau pengetahuan seseorang. Sedangkan diskriminasi adalah perilaku atau action yang dilakukan. Dengan demikian asal-usul terjadinya “stigma” dan “diskriminasi” adalah dari pandangan negatif terhadap orang atau kelompok tertentu yang dianggap mempunyai sesuatu yang tidak baik (Leslie, 2010).
Stigma dan diskriminasi masih menjadi masalah didalam upaya pengendalian HIV/AIDS di dunia sehingga masih banyak yang enggan untuk mengetahui status HIVnya karena takut kalau ketahuan mengidap HIV akan diperlakukan diskriminatif dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal makin dini orang mengetahui status HIVnya makin baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Stigma dan diskriminasi dalam kaitan dengan HIV/ AIDS sebenarnya tidak ditujukan kepada jenis kelamin melainkan kepada penyakitnya yang amat ditakuti.
Masalah akan timbul dalam situasi ketidak setaraan gender. Perempuan yang termarginalkan dan berada dalam posisi subordinat bisa menjadi tumpuan kesalahan, selanjutnya memperoleh label sebagai sumber penularan. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya dari sisi anatomi, fisiologi dan kedudukan sosial, perempuan lebih rentan tertular HIV/AIDS daripada lakiLaki.
Diperlukan komitmen dan upaya-upaya komprehensif terpadu oleh pemerintah dan seluruh unsur masyarakat untuk memberdayakan perempuan melalui pendekatan non diskriminatif dan persamaan sebelum menuju kesetaraan. Hasil yang diharapkan adalah perempuan mempunyai akses terhadap pendidikan, ketrampilan, informasi dan ekonomi, sehingga memiliki pengetahuan yang cukup tentang reproduksi dan penyakit serta mempunyai akses untuk meningkatkan ekonominya sehingga mampu memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang setara dengan lakilaki baik di sektor formal maupun informal. Demikian pula perempuan harus diberi wadah berorganisasi dan bisa memasuki wadah tersebut guna meningkatkan kapasitas sosialnya. Dengan demikian tidak akan ada lagi diskriminasi dalam bekerja, tidak hanya perempuan HIV positif tetapi perempuan secara keseluruhan. Bentuk lain dari stigma berkembang melalui internalisasi oleh Odha dengan persepsi negatif tentang diri mereka sendiri.
Stigma dan diskriminasi yang dihubungkan dengan penyakit menimbulkan efek psikologi yang berat tentang bagaimana ODHA melihat diri mereka sendiri. Hal ini bisa mendorong, dalam beberapa kasus, terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan. Stigma dan diskriminasi juga menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang takut untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi atau tidak, atau bisa pula menyebabkan mereka yang telah terinfeksi meneruskan praktek seksual yang tidak aman karena takut orang-orang akan curiga terhadap status HIV mereka. Akhirnya, Odha dilihat sebagai "masalah", bukan sebagai bagian dari solusi untuk mengatasi epidemi ini.
Deklarasi Komitmen yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB dalam sesi khusus tentang HIV/ AIDS menyerukan untuk memerangi stigma dan diskriminasi. Ini menunjukkan fakta bahwa diskriminasi merupakan pelanggaran HAM. Ini juga secara jelas menyatakan bahwa melawan stigma dan diskriminasi adalah merupakan prasyarat untuk upaya pencegahan dan perawatan yang efektif.


3.        Dukungan Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan adalah semua orang yang bekerja secara aktif dan professional di bidang kesehatan. Hal tersebut berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia yaitu PP No.32 Tahun 2006 menyatakan bahwa petugas kesehatan sebagai pelaksana ketentuan Undang-Undang no.23 Tahun 1992 tentang kesehatan. Para petugas kesehatan tersebut memiliki pendidikan formal kesehatan ataupun tidak, yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan (Almira, 2012).
Menurut Snehandu Kar dalam Notoatmodjo (2010), perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh ada tidaknya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessability of information) yang dapat diperoleh masyarakat dari petugas  kesehatan. Maka, pemberian informasi tersebut merupakan wujud dukungan yang diberikan oleh petugas kesehatan kepada masyarakat.
Dukungan petugas kesehatan dapat dilihat dari lima dimensi dukungan yaitu dukungan materi, emosi, penghargaan, informasi dan integritas sosial merupakan bentuk dukungan yang dapat mendorong pemanfaatan VCT.
Adapun dukungan materi oleh petugas kesehatan hanya dapat sebatas tersedianya klinik VCT yang sesuai dengan Pedoman Pleayanan Konseling dan Testng HIV dan AIDS Secara Sukarela (2005). Dalam pedoman pelayanan tersebut telah diatur mengenai sarana dan prasarana yang harus disiapkan dalam pelaksanaan layanan klinik VCT tersebut guna menjaga mutu pelayanan VCT agar pemanfaatannya terus meningkat (Depkes RI, 2008).
Dukungan emosi oleh petugas kesehatan merupakan ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik maupun psikologis. Menurut Notoatmodjo (2010), emosi yang sehat tercermin dari kemampuan seseorang mengekspresikannya dan hal tersebut dapat menjadi motivasi dan rasa nyaman seseorang bila ingin memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan, seperti klinik VCT.














BAB III
KERANGKA KONSEP

A.          Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti
Perilaku kesehatan masyarakat menentukan pilihan masyarakat terhadap berbagai fasilitas pelayanan kesehatan mana yang digunakan untuk mendapatkan penanganan fraktur. Perilaku masyarakat dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat terhadap kesehatan. Model kepercayaan kesehatan (health belief model) menjadi dasar dalam perilaku masyarakat ini, dengan variabel-variabel pada kerangka teorinya adalah persepsi terhadap kerentanan (perceived susceptibility), persepsi terhadap keseriusan sakit (perceived severity) yang merupakan persepsi terhadap ancaman (perceived  threat), persepsi terhadap manfaat dan rintangan-rintangan (perceived  benefits and barriers), serta isyarat atau tanda-tanda pendorong (cues to action) (Notoatmodjo, 2010).
Pemanfaaan pelayanan kesehatan merupakan bagian dari perilaku kesehatan yang menentukan status kesehatan seseorang atau masyarakat. Menurut teori Lawrence Green (1980), faktor-faktor penyebab perilaku kesehatan terdiri dari faktor predisposisi, faktor pendukung (enabling), dan faktor pendorong (reinforcing factors). Faktor predisposisi berasal dari latar belakang seseorang atau masyarakat pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai yang dianut, persepsi, motivasi dan demografi. Faktor pendukung perilaku meliputi ketersediaan sarana dan prasarana yang ada dipelayanan kesehatan, faktor pendorong meliputi sikap dan perilaku para petugas kesehatan dan petugas lainnya (Notoatmodjo, 2007).
B.            Pola Pikir
Pengetahuan
                                              
Pemanfaatan Layanan Klinik VCT oleh Kelompok Risti
Stigma dan Diskriminasi
                       
                                                                                  
Dukungan Petugas Kesehatan
 



Gambar 3.1 Pola Pikir Penelitian
C.           Definisi Konsep
1.        Pengetahuan
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh informan berkaitan dengan definisi, cara penularan, dan cara pencegahan  HIV/AIDS serta definisi klinik VCT.
Cara Ukur : Wawancara
2.        Stigma dan Diskriminasi
Pandangan dan tindakan negatif yang mendorong seseorang untuk memperlakukan orang lain secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka mereka akan status HIV seseorang.
Cara Ukur : Wawancara


3.        Dukungan Petugas Kesehatan
Dorongan dalam bentuk kunjungan, pemberian informasi tentang HIV/AIDS, juga mengenai VCT serta motivasi yang diberikan oleh petugas kesehatan sebelum informan memanfaatkan maupun selama informan memanfaatkan klinik VCT.
Cara Ukur : Wawancara
4.        Pemanfaatan Layanan Klinik VCT
Pemanfaatan klinik VCT  berarti memanfaatkan tahap VCT secara lengkap yaitu dengan mengikuti seluruh tahapan VCT berupa konseling pra testing, testing HIV dan konseling pasca testing.
Cara Ukur : Wawancara












BAB IV
METODE PENELITIAN
A.           Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan metode wawancara mendalam (indepth interview) baik itu berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang ditemukan sebagai informan.
B.            Lokasi dan Waktu Penelitian
1.        Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di puskesmas singgani dan lokasi kelompok risti yang berada di wilayah kerja puskesmas singgani kota palu.
2.        Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan April 2016.
C.           Informan
Informan penelitian yang dipilih dalam penelitian ini mengacu pada prinsip kesesuaian (appropriatness) dan kecukupan (adequacy), yaitu orang-orang yang mengetahui tentang kelompok risti tertular HIV/AIDS dan menjadi sasaran pemeriksaan VCT.
D.           Teknik Penentuan Informan
Prosedur sampling yang terpenting dalam penelitian kualitatif adalah bagaimana menentukan informan kunci (key person) atau situasi sosial yang sarat informasi sesuai fokus penelitian.
Pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik nonprobability merupakan teknik yang tidak memberikan peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Penentuan sampel ditentukan dengan cara purposive sampling, dimana sampel ditentukan berdasarkan pertimbangan tertentu yakni pertimbangan pada kemampuan informan untuk memberikan informasi lengkap (Sugiyono, 2012).
1.        Informan kunci dalam penelitian ini adalah ketua RT, Mucikari, Konselor dan Petugas Lapangan (PL)
2.        Informan biasa dalam penelitian ini adalah LSL, Waria dan WPS
3.        Informan tambahan dalam penelitian ini adalah Pelanggan WPS
E.            Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
1.        Metode Observasi (Pengamatan)
Pengamatan adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematika gejala-gejala yang diselidiki. Pengamatan dilakukan untuk melihat bagaimana tiap-tiap proses diselidiki, serta mengamati bagaimana proses masukkan dan keluaran serta penyajian.
2.        Metode Interview
Metode ini disebut juga dengan metode wawancara yaitu suatu metode pengumpulan data yang dilakukan melalui tanya jawab secara langsung dengan sumber data. Metode wawancara ini dilakukan oleh peneliti dengan bantuan alat perekam (tape recorder).
3.        Metode Dokumentasi
Sumber data yang terdapat dalam penelitian kualitatif dapat berupa dokumen, foto-foto dan bahan statistik. Metode dokumentasi ini merupakan salah satu untuk pengumpulan data yang paling mudah, karean peneliti hanya mengamati benda mati apabila mengalami kekeliruan mudah untuk merevisinya karena sumber datanya tetap tidak berubah.
4.        Telaah Dokumen
Telaah dokumen adalah mengidentifikasi dokumen yang berhubungan dengan pemanfaatan layanan klinik VCT oleh kelompok risti di wilayah kerja puskesmas singgani kota palu yang ada pada saat ini dan diperiksa beberapa komponen di antaranya kesesuaian, akurasi, dan kelengkapannya.
F.            Pengolahan dan Penyajian Data
1.        Pengolahan Data
Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan analisa isi (content anakisis) dengan teknik matriks dimana informasi diolah dalam tabel misalnya: no, nama informan, emik, etik, kesimpulan.
2.        Penyajian Data
Data/informasi yang telah diolah akan disajikan dalam bentuk narasi atau cerita.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.           Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1.        Letak Geografis
Puskesmas Singgani berada di wilayah kecamatan Palu Timur yang memiliki luas wilayah 104,02 km² dan secara administratif pemerintahan terdiri atas 5 kelurahan, 30 RW serta 97 RT.
Wilayah kerja Puskesmas Singgani mencakup lima kelurahan yaitu:
a.         Kelurahan Besusu Barat
b.          Kelurahan Besusu Tengah
c.         Kelurahan Besusu Timur
d.        Kelurahan Lasoani
e.         Kelurahan Poboya
Adapun penyebaran jumlah RW dan RT dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.1
         Distribusi Kelurahan, RW dan RT dirinci Menurut Kelurahan
                   Di Wilayah Puskesmas Singgani Kota Palu Tahun 2014
                                                                                       
No
Kelurahan
Luas Wilayah (km²)
RW
RT
1
Besusu Barat
0,87 km²
9
25
2
Besusu Tengah
2,26 km²
5
14
3
Besusu Timur
0,26 km²
4
20
4
Lasoani
36,86 km²
8
30
5
Poboya
63,41 km²
4
8

Puskesmas Singgani
104,02 km²
30
97
                Sumber : Profil Kesehatan Puskesmas Singgani Tahun 2014
Jumlah Penduduk di wilayah Puskesmas Singgani pada Tahun 2014 berjumlah 44.692 jiwa. Jumlah penduduk perkelurahan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5.2
Distribusi Jumlah Penduduk/Kelurahan di Wilayah
Puskesmas Singgani Kota Palu Tahun 2014

No
Kelurahan
Luas Wilayah (km²)
1
Besusu Barat
14.982
2
Besusu Tengah
8.723
3
Besusu Timur
8.573
4
Lasoani
10.124
5
Poboya
2.290

Puskesmas Singgani
44.692
                       Sumber : Profil Kesehatan Puskesmas Singgani Tahun 2014
2.        Sumber Daya Tenaga Kesehatan
Upaya kesehatan dapat berdaya guna dan berhasil guna bila ditunjang dengan tenaga, biaya dan sarana yang memadai. Pada tahun 2014 jumlah tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas Singgani sebanyak 55 orang dengan rincian sebagai berikut:





Tabel 5.3
               Distribusi Jumlah Tenaga Kesehatan di Puskesmas Singgani
                      Kota Palu Tahun 2014

No
Tenaga Kesehatan
Jumlah/Orang
1
Dokter Umum
1
2
Dokter Gigi
1
3
SKM
3
4
S1 Kebidanan
2
5
Akbid
2
6
Bidan
6
7
Bidan Kelurahan
8
8
Akper
8
9
Perawat
8
10
Perawat Gigi
3
11
Apoteker
1
12
Akademi Farmasi
2
13
Asisten Apoteker
1
14
Analis Kesehatan
1
15
AKL
1
16
SPPH
2
17
Akademi Gizi
-
18
SMA
2
19
Bidan PTT
3

Jumlah
55
                Sumber : Profil Kesehatan Puskesmas Singgani Tahun 2014
3.        Sejarah Singkat Klinik VCT di UPTD Urusan Puskesmas Singgani
Kegiatan Voluntary Cuonseling and Testing atau biasa dikenal dengan VCT pertama kali dilaksanakan pada tahun 2011 di Puskesmas Singgani, sebelumnya Puskesmas Singgani menunjuk salah satu tenaga kesehatan yang bekerja disana untuk mengikuti pelatihan konselor, dimana konselor ini yang nantinya akan bertugas untuk memberikan bimbingan konseling pada orang yang akan di VCT. Selama pelaksanaan VCT, Puskesmas Singgani melakukan kegiatan VCT mobile yaitu dengan mendatangi orang-orang yang ingin di VCT.
Selama kurang lebih 4 tahun melaksanakan kegiatan VCT mobile maka setelah adanya Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2014 tentang pengendalian human immunodeficency virus, aquired immunodeficiency deficiency syndrome  dan Infeksi menular seksual (IMS) maka pada tahun 2015 Puskesmas Singgani membuka layanan konseling di Puskesmas Singgani karena sudah memiliki ruang khusus konseling. Adapun jumlah kunjungan VCT selama tahun 2015 di Puskesmas Singgani yaitu 158 kunjungan, namun pelaksanaan VCT di Puskesmas Singgani belum maksimal dikarenakan belum adanya sarana dan prasarana sebagai penunjang, misalnya belum ada Dokter, ruang laboratorium serta petugas laboratorium. Sejauh ini pelayanan VCT di Puskesmas Singgani dilaksanakan oleh 2 petugas yaitu petugas konselor dan petugas administrasi.
4.        Alur Pelayanan VCT
Konseling dan test sukarela adalah kegiatan konseling bersifat sukarela dan rahasia, yang dilakukan oleh seorang konselor VCT yang terlatih, yang dilakukan sebelum dan sesudah test darah untuk HIV di laboratorium. Tes HIV dilakukan setelah klien terlebih dulu menandatangani inform consent (surat persetujuan tindakan). Jadi, VCT atau Voluntary Counseling and Testing adalah tes HIV yang dilakukan secara sukarela. Karena pada prinsipnya tes HIV tidak boleh dilakukan dengan paksaan atau tanpa sepengetahuan orang yang bersangkutan.
VCT penting untuk dilakukan karena untuk dapat mengakses ke semua layanan yang dibutuhkan terkait pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS dan untuk memberikan dukungan demi kebutuhan klien seperti perubahan perilaku, dukungan mental, dukungan terapi ARV, dan pemahaman yang benar dan faktual tentang HIV/AIDS.
VCT tidak hanya diperuntukkan bagi penderita HIV saja tapi semua manusia bisa mendapatkan layanan VCT. Jadi VCT diperuntukkan untuk :
a.         Mereka yang mau melakukan test HIV
b.         Mereka yang pernah berperilaku berisiko terhadap penularan HIV di masa lalu dan ingin merencanakan masa depannya
c.         Para homo atau orang yang melakukan hubungan seksual berisiko. Hubungan berisiko ini bukan hanya hubungan dengan pekerja seks, gigolo ataupun waria. Hubungan seksual dengan orang yang tidak diketahui status HIV nya bisa juga dianggap hubungan berisiko
d.        Orang yang pernah menerima transfusi darah
e.         Pengguna narkoba suntik
f.          Orang yang mengalami Infeksi Menular Seksual berulang
Ada beberapa tahapan dalam melakukan VCT yaitu tahapan pertama adalah pemberian informasi tentang HIV dan AIDS, cara penularan, cara pencegahannya dan periode jendela. Kemudian konselor dilaksanakan penilaian risiko klinis. Pada kegiatan ini, klien harus jujur tentang hal-hal berikut:
a.         Kapan terakhir kali melakukan aktivitas seksual
b.         Apakah menggunakan narkoba suntik
c.         Melakukan hal-hal yang berisiko pada pekerjaan misalnya dokter ataupun calon dokter atau tenaga kesehatan lainnya
d.         Apakah pernah menerima produk darah, organ atau sperma
Untuk konselor VCT biasanya terikat sumpah untuk merahasiakan status klien. Jika tahapan pertama (pre konseling) sudah selesai, selanjutnya konselor akan menawarkan kepada klien apakah bersedia untuk melakukan tes HIV. Jangan khawatir, kalau misalnya ragu untuk melakukan tes dan tidak mau, juga tidak masalah. Konselor tidak akan memaksa klien untuk melakukan tes HIV. Bisa kembali lagi kapan saja.
Dan jika klien mau melakukan tes HIV, konselor akan memberikan informed consent atau izin/persetujuan/pernyataan dari klien untuk melakukan tes HIV, di surat pernyataan ini klien menyatakan bahwa klien yang bersangkutan telah menerima informasi yang berhubungan dengan tes VCT ini dan telah menjalani penilaian risiko klinis (seperti yang telah dijelaskan diatas). Klien juga menyatakan kalau dirinya bersedia untuk dilakuan tes HIV.

Pada saat melakukan tes HIV, darah akan diambil secukupnya. Dan pemeriksaan darah ini bisa memakan waktu antara setengah jam sampai satu minggu tergantung jenis tes HIV yang dipakai. Biasanya klien disuruh pulang dan kembali lagi mengambil hasil tes beberapa hari setelahnya.
Kalau klien berubah pikiran dan tidak mau ngambil hasil tes terserah dan tidak masalah yang penting sebagai konselor, telah melakukan sesuai standart kerja. Tapi kalau klien memutuskan untuk mengambil hasil tes, klien akan menjalani tahapan post konseling.
Pada tahapan ini (post konseling), konselor akan memberitahukan hasil tes. Kalau hasil tesnya negatif, balik lagi ke penilaian risiko klinis, inilah pentingnya bagi kita untuk menjawab dengan jujur. Kalau dari penilaian risiko klinis, klien masih dalam masa periode jendela. Periode jendela adalah periode di mana orang yang bersangkutan sudah tertular HIV tapi antibodinya belum membentuk sistem kekebalan terhadap HIV dan hasil tes HIV nya masih negatif, meski belum terdeteksi tapi sudah bisa menularkan, klien akan dianjurkan untuk melakukan tes kembali tiga bulan setelahnya. Selain itu, bersama-sama dengan klien konselor akan membantu klien untuk merencanakan program perubahan perilaku.
Kalau hasil tes positif, klien bebas untuk mendiskusikan perasaannya dengan konselor. Konselor juga akan menginformasikan fasilitas untuk tindak lanjut dan dukungan. Misalnya, jika klien membutuhkan terapi ARV ataupun dukungan dari kelompok orang-orang senasib sebaya. Selain itu, konselor juga akan memberikan informasi tentang cara hidup sehat dan bagaimana cara agar tidak menularkan ke orang lain.
a.         Hasil tes HIV adalah rahasia yang seharusnya hanya diketahui oleh konselor dan klien saja. Klien dapat menuntut apabila ternyata hasil HIV bocor ke orang lain yang tidak berwenang. Kalaupun klien dirujuk dan artinya informasi tentang status HIV klien harus diberitahukan ke orang lain, harus dengan persetujuan klien
b.         Proses VCT yang benar memegang teguh privacy dan juga memastikan kalau klien melakukan VCT dengan sukarela.

Gambar 5.1 Alur pelyanan VCT
B.            Karakteristik Informan
Berdasarkan hasil obeservasi di lapangan menunjukkan jumlah   informan   terdiri   dari   11  orang. Berdasarkan kategori umur, informan beragam mulai dari umur 20-30 tahun sebanyak 5 orang dan 35-60  tahun  sebanyak 6  orang. Berdasarkan  pendidikan  informan , 1 orang taman sekolah dasar (SD), 3 orang tamatan sekolah menengah pertama (SMP), 5 orang tamatan sekolah menengah atas (SMA) dan 2 orang sarjana (S1). Berdasarkan pekerjaan informan yang 2 orang bekerja sebagai wanita pekerja seks (WPS), 2 orang bekerja sebagai pegawai salon, 1 orang bekerja sebagai instruktur, 3 orang bekerja sebagai wiraswasta dan 1 orang bekerja sebagai PNS, 1 orang bekerja sebagai tukang ojek serta 1 orang belum bekerja. Adapun karakteristik informan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 5.4
               Distribusi Jumlah Informan di Wilayah Kerja
                Puskesmas Singgani Kota Palu Tahun 2014

No
Informan
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
1
LT
59
Laki-laki
SMA
Wiraswasta
2
MA
40
Perempuan
SD
Wiraswasta
3
UP
42
Laki-laki
SMA
Wiraswasta
4
RY
38
Perempuan
S1
PNS
5
AL
26
Laki-laki
S1
Instruktur
6
NT
26
Laki-laki
SMA
Belum Bekerja
7
PU
30
Laki-laki
SMA
P. Salon
8
NW
21
Laki-laki
SMP
P. Salon
9
MY
47
Perempuan
SMP
WPS
10
YY
38
Perempuan
SMP
WPS
11
RZ
24
Laki-laki
SMA
Tukang Ojek
                Sumber Data Primer Tahun 2016
C.           Hasil Wawancara
1.        Pengetahuan Informan
Pengetahuan merupakan bagian penting dalam mempengaruhi perilaku kesehatan. Upaya-upaya ini menjadikan setiap individu atau kelompok akan berusaha merubah sikap dan perilaku berisikonya. Pendidikan tentang kesehatan merupakan sekumpulan pengalaman dimana dan kapan saja, sepanjang dapat mempengaruhi pendidikan dan perilaku.
Untuk menggambarkan pengetahuan Informan yang meliputi Ketua RT, Mucikari, Kelompok risti dan pelanggan WPS yaitu diukur melalui pertanyaan yang terdiri dari pengertian atau definisi HIV/AIDS dan layanan VCT, cara penularan, dan cara pencegahan HIV/AIDS. Seperti kutipan hasil penelitian berikut:
“HIV/AIDS itu yang setahu saya sih itu merupakan ee.. apa namanya ya virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh seseorang seperti itu.. secara umum seperti itu”. (AL, 26 Tahun, 05 April 2016).
Pengetahuan mengenai HIV/AIDS bagi sebagian besar informan cukup baik, meskipun belum bisa mendefinisikan HIV/AIDS secara benar namun mereka bisa menjelaskan tentang HIV/AIDS sebagai suatu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Pada dasarnya pengetahuan dipengaruhi oleh pendidikan dan pengalaman dari seseorang, hal ini sejalan dengan pernyataan informan sebagai berikut :

Informasi yang diperoleh juga sangat berpengaruh terhadap pengetahuan informan, sehingga informan bisa mendefinisikan HIV/AIDS secara baik dan benar dan bisa membedakan definisi antara HIV dengan AIDS. Hal ini sejalan dengan pernyataan informan berikut:
“ee... HIV adalah suatu penyakit yang sebenarnya sepengetahuan saya adalah sebuah penyakit yaitu berupa ee.. apa.. ee bisa menyebar melalui darah”. (NW, 21 Tahun, 10 April 2016)
 Lumayan tahu sih... HIV dan AIDS itukan beda, sebelum ke fase AIDS pasti dia HIV dulu, kalau HIV itu Human Imunitation Virus kalau yang AIDS gak tahu”. (NT, 26 Tahun, 05 April 2016)
“Penyakit itu yang membahayakan” (YY,38 Tahun,07 April 2016)
“Pernah dengar.. teman-teman kan banyak yang meninggal di undata, HIV itu yoo sakit, terus badan kurus trus ada bercak luka-luka begitu toh”. (MY, 47 Tahun, 07 April 2016)
Selain pertanyaan seputar pengertian HIV/AIDS, informan juga diharapkan mampu menjelaskan tentang cara penularan HIV/AIDS. Seperti kutipan hasil penelitian berikut:
        “Melakukan seks tanpa kondom, jarum suntik yang tidak steril yang berganti-ganti,trus dari ee.... cairan laki-laki atau perempuan, air manilah”. (NT, 26 Tahun, 05 April 2016)
“Tahu.. dalam berhubungan seksual, air susu ibu, dan darah”. (PU, 30 Tahun, 05 April 2016)
Pernyataan di atas di dukung dengan pernyataan informan berikut:
“Iya pernah sih, katanya dari beberapa ee yang pernah mengalami penyakit ini kan mengenai apa dulu gonta ganti pasangan,iya kan sehingga terjadinya penularan”. (RZ, 24 Tahun, 15 April 2016)
“Penularannya berupa ee.. melalui darah dan yang kedua ee...dengan bentuk seksnya tersendiri”. (NW, 21 Tahun, 10 April
Berdasasrkan penjelasan informan tentang cara penularan HIV/AIDS, Sebagian besar informan mengetahui bahwa penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual. Hal ini tidak sejalan dengan Pernyataan yang disampaikan oleh informan berikut:
“Penularannya melalui transfusi darah, jarum spoit kan, kalau yang lain-lain itu tidak ada”. (LT, 59 Tahun, LT, 12 April 2016)
Selanjutnya peneliti mengajukan pertanyaan seputar cara pencegahan HIV/AIDS. Seperti kutipan hasil penelitian berikut:
“Pencegahannya kalau mau seks harus pakai kondom, menggunakan jarum suntik yang tidak berganti-gantian”.
(NT, 26 Tahun, 05 April 2016)
Pernyataan di atas di dukung oleh pernyataan informan berikut terkait cara pencegahan HIV/AIDS:
 “Dia lebih ke anu ya apa namanya ini.. proteksi diri saja kalau seks aktif seperti itu. Setia mungkin kepada pasangan kemudian kenali pasangan seperti itu, kemudian menggunakan alat kontrasepsi misalnya kondom  mungkin itu lebih aman”.
(AL, 26 Tahun, 05 April 2016)
Berdasarkan pernyataan informan, sebagian besar menjelaskan bahwa cara pencegahan HIV/AIDS bisa dilakukan dengan tidak bergonta-ganti pasangan, menggunakan kondom serta tidak menggunakan jarum suntik yang tidak steril. Hal ini tidak sejalan dengan pernyataan informan berikut:
“Suntik saya tiap bulan sekali, trus minum anti biotik, saya jamu, hari-hari jamu, itu saja”. (MY, 47 Tahun, 07 April 2016)
 “Saya ndak ngerti”. (YY, 38 Tahun, 07 April 2016)
Sebagai pertanyaan terakhir yang diajukan oleh peneliti kepada informan yaitu pertanyaan seputar pengetahuan informan mengenai VCT. Seperti kutipan hasil penelitian berikut:
 “VCT itu yang saya tau sih itu ee.. pengambilan sampel darah untuk di test secara klinis dilaboratorium, supaya kita bisa mengetahui status apakah kita dalam kondisi aman atau itu seperti itu”.
(AL, 26 Tahun, 05 April 2016)
 “VCT adalah bagaimana ee.. ketika kita melakukan satu cek darah ee.. yaitu berupa ee.. darahnya kita diambil, dicek apakah kita terkena satu penyakit atau tidak”. (NW, 21 Tahun, 10 April 2016)
Informasi tentang layanan VCT belum banyak diketahui oleh sebagian informan, sebagian menyatakan pernah mendengar tetapi belum tahu tentang layanan VCT tersebut. hal ini sesuai dengan pernyataan informan berikut:
“Ya.. saya tidak tahu”. (LT, 59 Tahun, 12 April 2016)
“Kalau mengenai soal itu belum pernah dengar sih”.
(RZ, 24 Tahun, 15 April 2016)
“VCT..Pernah..pernah dengar, kalau kepanjangannya tidak tahu”. (NT, 26 Tahun, 05 April 2016)
Pernyataan tersebut di atas di dukung oleh pernyataan informan berikut:
“Pernah.. ya ndak taulah pokoknya ditest HIV waktu.. ih masih tahun berapa itu”. (MY, 47 Tahun, 07 April 2016)
Untuk mengambarkan tingkat pengetahuan konselor dan PL, maka peneliti mengajukan pertanyaan yang berbeda yaitu tentang tahapan perubahan HIV ke AIDS, pelaksanaan kegiatan mobile VCT di lapangan dan sasaran program VCT serta tugas seorang PL dilapangan. seperti kutipan hasil penelitian berikut:
“Yang saya ketahui kalo perubahan HIV ke AIDS itu tidak bisa dilihat secara langsung... karena tentunya harus melalui pemeriksaan dulu ya kan, tapi yang paling sering itu yang saya tahu tentang masa jendela. Pada Masa jendela ini biasanya klien yang saya konseling sangat rentan tertular HIV, makanya itu konseling harus dilaksanakan setiap 3-6 bulan”. (RY, 38 Tahun, 18 April 2016)
Pernyataan tersebut diatas sesuai sejalan dengan pernyataan informan berikut:
“Perubahan HIV ke AIDS sejauh ini yang saya ketahui yaitu apabila seseorang menderita suatu penyakit yang tidak sembuh-sembuh misalnya sariawan dan diare, karena yang saya ketahui seorang penderita HIV apabila sudah berubah menjadi AIDS berat badannya itu akan turun secara drastis. Tapi awalnya sebelum menjadi AIDS penderita menjalani yang namanya masa jendela”. (UP, 42 Tahun, 17 April 2016)
Berdasarkan pernyataan kedua infroman tersebut, diketahui bahwa dalam tahapan perubahan HIV ke AIDS diawali dengan periode jendela, seseorang yang terinfeksi HIV ataupun AIDS tidak mudah dilihat secara fisik. Namun ada gejala-gejala khusus seseorang yang menderita AIDS misalnya berat badan yang turun secara drastis dan rentannya seseorang terhadap penyakit. Hal ini dikarenakan menurunnya sistem kekebalan tubuh dalam diri seseorang.
Pertanyaan selanjutnya yaitu tentang sasaran program VCT. Seperti kutipan hasil penetian berikut:
“Tentu tidak, karena sebenarnya setiap orang perlu melakukan VCT.. karena kan tidak ditahu bagaimana mereka diluar, tapi selama ini kami lakukan VCT dikhususkan untuk kelompok risti karena mereka ini orang-orang yang sangat rentan tertular dan menularkan virus HIV/AIDS... tapi kalo masyarakat yang lain juga berminat jauh lebih bagus lagi artinya mereka sadar kalo VCT itu penting, tapi untuk di palu sendiri masih banyak kendala begitulah”. (RY, 38 Tahun, 18 April 2016)
“Oh tentu tidak, orang lain juga sebaiknya ikut VCT karena kan mereka juga beresiko tertular HIV. HIV ini kan bisa menular kesiapa saja. Tapi memang VCT ini dikhususkan untuk kelompok risti seperti waria, LSL, PSK... karena mereka sangat rentan sekali tertular”. (UP, 42 Tahun, 17 April 2016)
Sasaran program VCT bukan hanya diperuntukkan bagi kelompok risti saja, karena dalam penanggulangan HIV/AIDS maka setiap orang wajib mengikuti program VCT.
Selanjutnya peneliti mengajukan pertanyaan kepada konselor tentang bagaimana pelaksanaan mobile VCT di lapangan. Seperti kutipan hasil pertanyaan berikut:
“Sejauh ini yang kami lakukan selama mobile VCT itu ya.. istilahnya jemput bola, misalnya kalo ditempat PSK kami kunjungi perkamar atau biasa juga kami hubungi RT nya untuk mengumpulkan PSK di tempat yang sudah disediakan. Setelah PSK terkumpul yang kami lakukan adalah memberikan informasi dasar HIV dan konseling”. (RY, 38 Tahun, 18 April 2016)
Dalam pelaksanaan mobile VCT dikenal istilah jemput bola yang artinya bahwa seorang konselor bersama petugas kesehatan yang lain melakukan kunjungan langsung ke tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat yang rentan terjadi penularan HIV/AIDS. misalnya di lokalisasi, pelaksanaan mobile VCT melipatkan ketua RT ataupun orang-orang tertentu yang dianggap berpengaruh di tempat tersebut.
Selanjutnya pertanyaan diajukan kepada PL mengenai tugas yang dilakukan selama di lapangan. Seperti kutipan hasil penelitian berikut:
“Biasanya kita sebagai petugas lapangan tugasnya menjangkau teman-teman yang rentan tertular HIV/AIDS... tapi kan itu tidak mudah jadi kita cari orang dulu yang bisa kita ajak kerja sama kalau istilahnya diknal dengan tokoh kunci... nah dari mereka ini biasanya kami peroleh informasi dan akses untuk menjangkau kelompok risti”. (UP, 42 Tahun, 17 April 2016)
Seorang petugas lapangan bertugas melakukan penjangkauan pada tempat-tempat kelompok risti. Namun sebelumnya untuk memperoleh informasi dan akses ke tempat kelompok risti, seorang PL harus terlebih dahulu mencari tokoh kunci. Karena tokoh kunci merupakan orang yang mempunyai informasi tentang kelompok risti.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan (Kelompok risti) di atas menunjukkan bahwa sebagian besar pengetahuan informan tentang definisi HIV/AIDS sudah baik, dimana sebagian besar informan mengetahui bahwa HIV/AIDS adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Selain definisi HIV/AIDS, Informan juga mengetahui cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS meskipun hanya sebagian yang mereka bisa jelaskan. Adapun pengetahuan informan tentang VCT masih kurang.
2.        Stigma dan Diskriminasi
Stigma dan diskriminasi merupakan sebuah fenomena yang selalu dan sering dihadapi oleh penderita HIV/AIDS maupun kelompok risti yang rentan tertular HIV/AIDS. Perlakuan dan pandangan sinis yang diterima dari lingkungan mereka terkait dengan perilaku ataupun penyakit yang mereka derita. Stigmatisasi merupakan bagian dari kendala yang dihadapi kelompok risti maupun penderita HIV/AIDS untuk memanfaatkan suatu pelayanan kesehatan (Leslie, 2010).
Untuk menggambarkan stigma dan diskriminasi bagi Informan, maka diukur melalui pertanyaan yaitu bagaimana stigma dan diskriminasi terhadap kelompok risti dan ODHA. Seperti kutipan hasil penelitian berikut:
Iya pernah, ya misalnya orang bilang eh kenapa kau mau bergaul sama orang seperti itu nanti malah kamu ikut-ikutan seperti itu begitu, kebanyakan dari teman. kalau tindakan tidak pernah”.
(AL, 26 Tahun, 05 April 2016)
“Pernah sih... ya seperti, kenapa sih seperti itu bukan berubah pada intinya. kalau untuk tindakan sih... tidak ada sih”.
(PU, 30 Tahun,  05 April 2016)
Stigma yang diterima oleh kelompok risti seringkali dikaitkan dengan perilaku mereka yang dianggap negatif oleh masyarakat, selain itu resiko pekerjaan juga bisa menimbulkan stigma dari masyarakat. Hal ini sejalan dengan pernyataan informan berikut:
“Ya namanya pekerjaan seperti ini tentu ada”.
(YY, 38 Tahun, 07 April 2016)
Bagi masyarakat awam, kelompok risti tentu akan memberikan pandangan negatif terhadap kelompok risti karena menganggap bahwa mereka adalah orang yang memiliki perilaku buruk, namun bagi mereka yang memiliki pengetahuan yang baik dengan kelompok risti akan memberikan pandangan yang berbeda, hal ini sejalan dengan pernyataan informan berikut:
“Kalau kami sih pada prinsipnya ee.. itu kita ini di dalam ee di dalam kehidupan kita, kalo sudah mengetahui teman kita, tidak boleh kita menghindari artinya bagaimana saja kita mengedukasi supaya ee.. teman tersebut ee.. dengan keadaannya ee.. menjaga kesehatan dirinya begitu”. (UP, 42 Tahun, 17 April 2016)
“Kalo menurut saya, kita apa namanya.. mereka itu bukan kita ungsikan, mereka juga kita apa namanya dijamin kesehatannya atau bagaimana kesehatannya selalu kita kontrol kalau untuk kita mengungsikan itu tidak bisa karena itukan HAM”.
(LT, 59 Tahun, 12 April 2016)
Pernyataan tersebut di dukung oleh pernyataan informan berikut:
“Maksudnya sejauh ini pandangan saya itu bagaimana ya.. ee maksudnya tidak ada sih karena mungkin kita selama ini kan saya bergelut dengan pasien HIV/AIDS jadi untuk saya pribadi tidak ada ini tidak ada kendala”. (RY, 38 Tahun, 18 April 2016)
Selanjutnya peneliti mengajukan pertanyaan seputar diskriminasi terhadap kelompok risti. Seperti kutipan hasil penelitian berikut:
“Kalau sampai dihindari gak pernah, tapi kalau mereka tahu saya seperti ini mungkin mereka sudah tahu”.
 (NT, 26 Tahun, 05 April 2016)
“Kalau disini kayaknya tidak ada, karena ini disini lorong inikan maksudnya tidak juga hampir semua tapi lorong ini kan kebanyakan”.
(YY, 30 Tahun, 07 April 2016)
Pernyataan tersebut di dukung oleh pernyataan informan berikut:
“Kalau saya lebih ke anu ya apa namanya memberikan pemahaman saja memberikan pemahaman ke teman-teman ee... tentang hal-hal yang baiklah seperti itu, kalau tindakan tidak pernah”.
(AL, 26 Tahun, 05 April 2016)
Meskipun menerima stigma, namun kelompok risti tidak pernah mendapat tindakan diskriminasi seperti dikucilkan ataupun dihindari. Tindakan diskriminasi biasanya datang dari orang-orang yang menganggap bahwa kelompok risti adalah orang yang harus dihindari karena membawa penyakit yang berbahaya. Hal ini sejalan dengan pernyataan informan berikut:
“Kalau menurut saya sih itukan berbahaya harus dihindari”
(RZ, 24 Tahun, 12 April 2016)
Tindakan diskriminasi seringkali ditunjukkan bagi seseorang yang dianggap membawa dampak negatif di lingkungan sekitar, namun bagi mereka yang memiliki pengetahuan yang baik tentang kelompok risti akan memberikan tindakan yang berbeda, hal ini sejalan dengan pernyataan informan berikut:
“Kalo kita tahukan tentunya kita tidak menjauhinya, iya tidak boleh kan.. itukan stigma, iya jadi kita malah tetap malah mendukung tapi mungkin kita apa.. ee.. care juga dengan mereka, misalnya bagaimana mereka, kepatuhan mereka untuk berobat begitu”.
(UP, 42 Tahun, 17 April 2016)
“Tindakan saya, saya melaporkan kepada petugas kesehatan toh yang dicurigaikan baru diambil darahnya baru ditujukan di VCT ya nanti KPAnya yang anu mengobati pencegahannya kan”.
(LT, 59 Tahun, 12 April 2016)
Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar kelompok risti pernah mendapat stigma, tetapi untuk tindakan diskriminasi mereka tidak pernah mendapatkannya. Stigma dan diskriminasi juga tidak pernah ditunjukkan bagi informan yang memiliki pengetahuan yang baik tentang kelompok risti, sebaliknya stigma dan diskriminasi ditunjukkan oleh informan yang tidak memiliki pengetahuan tentang kelompok risti.


3.        Dukungan Petugas Kesehatan
Menurut Snehandu Kar dalam Notoatmodjo (2010), perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh ada tidaknya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessability of information) yang dapat diperoleh masyarakat dari petugas  kesehatan.
Untuk menggambarkan dukungan petugas kesehatan, maka diukur melalui pertanyaan mengenai dorongan dalam bentuk kunjungan, pemeriksaan kesehatan yang diberikan, pemberian informasi tentang HIV/AIDS serta ajakan petugas kesehatan kepada kelompok risti untuk mengikuti program VCT. Seperti kutipan hasil penelitian berikut:
Kalau kunjungan pribadi belum pernah cuman ee... biasanya kalau ada kegiatan-kegiatan apa namanya misalnya salah satu contohnya kan VCT, biasanyakan itu berbarengan dengan hari-hari besar misalnya hari AIDS sedunia”. (AL, 26 Tahun, 05 April 2016)
“Dulu sering, iyo.. dulu tiap bulan pasti didatangi, satu tahun lebih ndak pernah diurus sudah”. (MY, 47 Tahun, 12 April 2016)
Kunjungan petugas kesehatan sangat penting bagi kelompok risti, karena dengan kunjungan tersebut maka kelompok risti bisa memeriksakan status kesehatannya. Sebagian informan menyatakan bahwa kunjungan dari petugas kesehatan masih kurang, hal ini sejalan dengan pernyataan informan berikut:
“Kalau dari Dinas Kesehatan terus terang kalau untuk sekarang waria itu perlu, karena kenapa, kita bisa tahu penyakitnya kita apa maka dari situ kita bisa belajar bukan hanya mencegah tetapi mengobati”. (NW, 21 Tahun, 10 April 2016)
“Sebenarnya begitu, tapi ini jarang toh karena terpencil”.
(MA, 40 Tahun, 12 April 2016)
Pernyataan di atas di dukung dengan pernyataan informan berikut:
 “Ih saya gak pernah, kalau sakit paling ke puskesmas atau ke dokter praktek yang terdekatlah”. (PU, 30 Tahun, 05 April 2016)
“Belum Pernah” (RZ, 24 Tahun, 15 April 2016)
Pemberian informasi merupakan bagian dari dukungan petugas kesehatan bagi kelompok risti, hal ini sesuai dengan hasil penelitian berikut:
“Sosialisasi tentang HIV/AIDS tadi itu memberikan informasi sekaligus VCT juga”. (NT, 26 Tahun, 05 April 2016)
“Kalau dulu tiap bulan, kalau anu dipanggil sudah rame-rame sudah, yo disunti, yo dikasih pengarahan, yo dikasih obat, yo dikasih kondom itu gratis semuanya”. (MY, 47 Tahun, 07 April 2016)
“Ah begini kalo tetapkan seperti di tondo itu rutin kan setiap bulan, tapi yang begini ini ya paling-paling datang petugas baru dikontrol dia punya kesehatan”. (LT, 59 Tahun, 12 April 2016)
Pemberian informasi bagi kelompok risti sangat penting, karena diharapkan dengan informasi maka akan merubah perilaku kelompok risti tersebut. Oleh karena itu diharapkan bagi petugas kesehatan untuk senantiasa memberikan informasi kepada kelompok risti tentang HIV/AIDS dan pencegahannya, tetapi sejauh ini bemberian informasi bagi kelompok risti masih kurang, hal ini sesuai dengan pernyataan informan berikut:
“Gak pernah”. (PU, 30 Tahun, 05 April 2016)
“Ndak pernah”. (YY, 38 Tahun, 07 April 2016)
Pernyataan di atas di dukung dengan pernyataan informan berikut:
“Kebanyakan yang kami dapatkan itu adalah anak-anak SMK kesehatan, kalau dari petugas kesehatan ada tapi sudah lama”.
(NW, 21 Tahun, 10 April 2016)
Selain pemberian informasi, bentuk dukungan petugas yang lain adalah jenis pemeriksaan yang perlu diberikan kepada kelompok risti, seperti kutipan hasil penelitian berikut:
“Ya itu.. pemeriksaan jangan sampai ada penyakit-penyakit yang tidak itu toh kayak ini, apa namanya infeksi apa begitu”.
(MA, 40 Tahun, 12 April 2016)
Pernyataan di atas di dukung dengan pernyataan informan berikut:
“Oh pemeriksaan ini apa namanya ee.. IMS juga bisa termasuk juga pemeriksaan TB”. (UP, 42 Tahun, 17 April 2016)
“IMS, itu yang paling penting karena IMS itukan pintu masuknya HIV kan”. (RY, 38 Tahun, 18 April 2016)
Menurut Informan pemeriksaan Infeksi Menular Seksual (IMS) sangat penting bagi kelompok risti, dikarenakan IMS merupakan penyakit yang paling sering diderita oleh kelompok risti dan merupakan pintu masuk HIV/AIDS. Selain pemeriksaan IMS, pemeriksaan darah juga harus dilakukan terhadap kelompok risti. Hal ini sesuai dengan  pernyataan informan berikut:
“Mereka itu yang terutama pengambilan darah, itu saja pengambilan darah itu saja”. (LT, 59 Tahun, 12 April 2016)
Bentuk dukungan petugas kesehatan selanjutnya adalah ajakan untuk mengikuti program VCT. Seperti kutipan hasil penelitian berikut:
“Pernah”. (AL, 26 Tahun, 05 April 2016)
“Pernah.. saya pernah ikut juga”. (NT, 26 Tahun, 05 April 2016)
Pernyataan di atas di dukung dengan pernyataan informan berikut:
“Pernah, iya pernah. Yang disuntik taro kaca itu toh”.
(MY, 47 Tahun, 07 April 2016)
Salah satu upaya pencegahan HIV/AIDS adalah dengan mengikuti program VCT, hal ini dianggap penting bagi kelompok risti karena mereka sadar bahwa mereka rentan tertular HIV/AIDS oleh karena itu menurut mereka dengan mengikuti program VCT, maka mereka akan mengetahui lebih cepat status HIV/AIDS dalam dirinya.
Namun tidak semua informan pernah mendapat ajakan dari petugas kesehatan untuk mengikuti program VCT, hal ini sesuai dengan  pernyataan informan berikut:
“Kalau VCT sih gak pernah” (PU, 30 Tahun, 05 April 2016)
“Tidak ada juga” (YY, 38 Tahun, 07 April 2016)
Belum pernah”  (RZ, 24 Tahun, 15 April 2016)
Pernyataan di atas  di dukung dengan pernyataan informan berikut:
“Kalau lalu ada tapi untuk sekarang belum ada”
(NW, 21 Tahun, 10 April 2016)
Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar informan dari kelompok risti tidak pernah mendapat kunjungan oleh kelompok risti, begitu juga dengan pemberian informasi yang masih kurang. Adapun jenis pemeriksaan yang sangat penting bagi kelompok risti adalah pemeriksaan IMS dan test darah, sebagian informan mengaku belum pernah mendapat ajakan dari petugas kesehatan untuk mengikuti program VCT.
4.        Pemanfaatan Layanan Klinik VCT
Pemanfatan merupakan kegunaan dari sebuah program sehingga program  ini dapat berguna baik  oleh individu atau  masyarakat. Dalam proses peningkatan pelayanan  kesehatan  tentunya  pemanfaatan sebuah  program  menjadi bagian dari output atau hasil dari sebuah kebijakan yang di buat.
Untuk menggambarkan pemanfaatan informan terhadap pelayanan VCT, maka diukur melalui tiga pertanyaan yang terdiri dari kesediaan mengikuti konseling pra testing, test HIV dan konseling pasca testing HIV. Seperti kutipan hasil penelitian berikut:
“Bersedia, kan itu untuk harus” (AL, 26 Tahun, 05 April 2016)
“iya bersedia” (NT, 26 Tahun, 05 April 2016)
“Iya” (PU, 30 Tahun, 05 April 2016)
“Bersedia” (RZ, 24 Tahun, 15 April 2016)
Pernyataan di atas di dukung pula dengan pernyataan informan berikut:
“Iyo kalo misalnya adalagi periksa kayak gitu”
(MY, 47 Tahun, 07 April 2016)
“Bersedia, karena itukan untuk mengetahui status penyakit dalam tubuh kami, sehingga kami bisa melakukan pencegahan”
(NW, 21 Tahun, 10 April 2016)
Berdasarkan pernyataan tersebut menjelaskan bahwa seluruh informan bersedia mengikuti konseling pra testing. Dalam konseling pra testing terjadi diskusi antara klien dan konselor yang bertujuan untuk menyiapkan klien untuk testing, memberikan pengetahuan pada klien tentang HIV/AIDS, Hal ini sejalan dengan pernyataan informan berikut:
“Iya, diinterogasi dulu begitu” (MA, 40 Tahun, 12 April 2016)
“Iya hasil itu dulu baru dites” (LT, 59 Tahun, 12 April 2016)
“Harus” (RY, 38 Tahun, 18 April 2016)
Konseling pra testing merupakan salah satu tahapan dalam kegiatan VCT yang bisa diikuti oleh kelompok risti secara sukarela artinya tanpa adanya paksaan, hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh salah satu informan terkait keharusan kelompok risti mengikuti kegiatan konseling pra testing, sesuai pernyataan informan berikut:
“Oh namanya saja itu konseling atau VCT dan sebagainya tentu saja tidak tergantung orang ini yang mau diajak kan kadang walaupun ditanya konseling orang belum paham sebenarnya apa itu yang pertama kita harus edukasi dulu begitu, jadi itu tidak harus”
(UP, 42 Tahun, 17 April 2016)
Selanjutnya peneliti mengajukan pertanyaan kepada informan seputar kesediaan mereka dalam mengikuti test HIV. Seperti kutipan hasil penelitian berikut:
“Kalau untuk pencegahan sih, saya bersedia” (AL, 26 Tahun, 05 April 2016)
“Iya bersedia” (NT, 26 Tahun, 05 April 2016)
“Iyo mau” (MY, 47 Tahun, 07 April 2016)
“Iya bersedia” (NW, 21 Tahun, 10 April 2016)
Test HIV merupakan tahapan kedua dari kegiatan VCT dan merupakan tahapan paling penting dalam upaya pencegahan HIV/AIDS, oleh karena itu sangat diharapkan agar kelompok risti bersedia untuk mengikuti test HIV. Tetapi, dalam tahapan ini kelompok risti tidak dipaksakan untuk mengikuti test HIV, karena test HIV dilakukan harus secara sukarela. Hal ini sejalan dengan pernyataan informan berikut:
“Iya tergantung dari mereka toh, walaupun saya sarankan begini kalo seandainya kemauannya mereka ini kan lain-lain toh” (MA, 40 Tahun, 12 April 2016)
“Selagi.. selagi tergantung dari individunya lagi kalo memang dianya mau ya kita kan disini hanya sebagai konseling, tidak bisa kita paksakan nanti melanggar HAM lagi” (RY, 38 Tahun, 18 April 2016)
Pernyataan di atas di dukung dengan pernyataan informan berikut:
“Kalo harus sudah pasti tidak, karena orang juga kadang tidak usah kelompok risti kalaupun kelompok lain karena mungkin adanya stigma mau dilayanan ataupun sebagainya itukan orang ee.. belum tentu mau diajak begitu, banyaklah hal-hal yang jadi pertimbangan tergantung bagaimana adanya petugas lapangan yang nantinya ee.. secara perlahan bisa melakukan pendekatan tadi bagaimana supaya bisa mengakses layanan paling tidak minimal itu semacam kita menginformasikan misalnya dengan pemberian ee rujukan misalnya kalo sewaktu-waktu dia merasa mengalami atau merasakan penyakit atau apa itu bisa menghubungi kita begitu” (PU, 42 Tahun, 17 April 2016).
Pertanyaan terakhir yang peneliti tanyakan kepada informan terkait kesediaan mereka mengikuti kegiatan konseling pasca testing. Seperti kutipan hasil penelitian berikut:
“Pasca testing maksudnya ohh iya bersedia” (AL, 26 Tahun, 05 April 2016)
“Iyo” (MY, 47 Tahun, 07 April 2016)
“Iya” (NW, 21 Tahun, 10 April 2016)
Pernyataan di atas di dukung dengan pernyataan informan berikut:
“Oh iya ya Bersedia juga supaya kan kita tahu  juga toh barangkali saya juga karena ini kan menyangkut masalah seksual, jadi menurut saya bersedia dikonseling kembali toh” (RZ, 24 Tahun, 15 April 2016)
Konseling pasca testing HIV tujuannya untuk mengetahui hasil test HIV di dalam tubuhnya. Oleh karena itu kelompok risti yang sudah mengikuti test HIV sebaiknya mengikuti konseling pasca testing HIV, hal ini sejalan dengan pernyataan informan berikut:
“Oh iyalah pasti kalo untuk itukan pastinya kalau di konseling di VCT toh hasilnya itu kan pasti lagi dikonseling lagi tujuannya kan bagaimana dengan mengetahui status dia bisa rajin berobat” (UP, 42 Tahun, 17 April 2016)
“Pasca testing iya harus” (RY, 38 Tahun, 18 April 2016)
Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar informan dari kelompok risti bersedia mengikuti seluruh tahapan dalam kegiatan VCT mulai dari konseling pra testing, test HIV maupun konselimg pasca testing HIV.
D.           Pembahasan
Berdasarkan hasil observasi di lapangan dan informasi yang diperoleh dari hasil  wawancara mendalam dari informan kunci, informan biasa serta informan tambahan. Maka peneliti akan menjelaskan setiap variabel yang berpengaruh terhadap pemanfaatan layanan klinik VCT oleh kelompok risti di Puskesmas Singgani Kota Palu sebagai berikut:
1.        Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2010).
Pengetahuan dalam penelitian ini adalah pengetahuan informan berkaitan dengan definisi HIV/AIDS dan VCT, cara penularan, serta cara pencegahan  HIV/AIDS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pengetahuan informan tentang definisi HIV/AIDS sudah baik, dimana sebagian besar informan mengetahui bahwa HIV/AIDS adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Selain definisi HIV/AIDS, Informan juga mengetahui cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS meskipun hanya sebagian yang mereka bisa jelaskan. Adapun pengetahuan informan tentang VCT masih kurang.
Dari hasil penelitian tersebut peneliti berasumsi bahwa informan belum mengetahui tentang layanan VCT dikarenakan kurangnya informasi yang mereka peroleh, serta dilihat dari tingkat pendidikan dan pengalaman yang berbeda-beda dari setiap informan.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sari S. (2010), menurutnya ada keeratan hubungan antara pengetahuan dalam upaya memperbaiki perilaku. Dengan demikian meningkatkan pengetahuan akan memberikan hasil yang cukup berarti untuk memperbaiki perilaku (Sari, 2010).
Individu yang berpendidikan memiliki kesadaran yang lebih tinggi terhadap manfaat dari pemanfaatan pelayanan kesehatan. Individu terdidik cenderung memiliki pengetahuan yang lebih baik dan memiliki informasi tentang pengobatan medis modern serta memiliki.    
Seperti halnya hasil penelitian Sarwono (2012) yang menyatakan dalam menggunakan pelayanan kesehatan, seseorang dipengaruhi oleh perilakunya yang terbentuk dari pengetahuannya. Selain itu, seseorang cenderung untuk bersikap tidak menggunakan jasa pelayanan kesehatan disebabkan karena adanya kepercayaan dan keyakinan bahwa jasa pelayanan kesehatan tidak dapat menyembuhkan penyakitnya, demikian juga sebaliknya (Sarwono, 2012).
Berbeda dengan hasil penelitian Khairurrahmi (2010) yang menemukan tidak adanya pengaruh pengetahuan secara multivariat terhadap pemanfaatan VCT pada ODHA di kota Medan. Pengetahuan HIV/AIDS selama ini banyak diperoleh dari media massa atau komunitas pemerhati HIV/AIDS, sehingga orang berisiko dapat mengakses informasi tentang HIV/AIDS (Khairurrahmi, 2010).
2.        Stigma dan Diskriminasi
Dalam pengertian yang sederhana, stigma adalah sikap atau attitude negatif yang terkait dengan keyakinan atau pengetahuan seseorang. Sedangkan diskriminasi adalah perilaku atau action yang dilakukan. Dengan demikian asal-usul terjadinya “stigma” dan “diskriminasi” adalah dari pandangan negatif terhadap orang atau kelompok tertentu yang dianggap mempunyai sesuatu yang tidak baik.
Stigma dan diskriminasi terhadap HIV/AIDS  di masyarakat merupakan hambatan yang menghalangi program penanggulangannya dapat berjalan optimal. Stigma dan diskriminasi merupakan sebuah fenomena yang selalu dan sering dihadapi oleh penderita HIV/AIDS maupun kelompok risti yang rentan tertular HIV/AIDS. Perlakuan dan pandangan sinis yang diterima dari lingkungan mereka terkait dengan perilaku ataupun penyakit yang mereka derita. Stigmatisasi merupakan bagian dari kendala yang dihadapi kelompok risti di lingkungan sekitarnya (Leslie, 2010).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kelompok risti pernah mendapat stigma, tetapi untuk tindakan diskriminasi mereka tidak pernah mendapatkannya. Stigma dan diskriminasi juga tidak pernah ditunjukkan bagi informan yang memiliki pengetahuan yang baik tentang kelompok risti, sebaliknya stigma dan diskriminasi ditunjukkan oleh informan yang tidak memiliki pengetahuan tentang kelompok risti.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurliana (2010) yang menyatakan bahwa pemeriksaan rutin pada kasus orang yang beresiko ternyata dapat mengurangi stigma  HIV dan penyedia layanan juga menegaskan bahwa tes HIV secara rutin memungkinkan dapat mengurangi beberapa stigma yang terkait tentang kasus HIV/AIDS (Nurliana, 2010).
Berbeda dengan Hasil penelitian di Hongkok tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan VCT oleh LSL menunjukkan bahwa hambatan utama dalam penggunaan VCT adalah masalah diskriminasi, stigma dan ketakutan akan hasil test. Dikarenakan hambatan ini, maka terdapat sekitar 12,7% dari mereka yang tidak mau melakukan VCT akan melakukan VCT 6 bulan kedepan (Worku, 2015).



3.        Dukungan Petugas Kesehatan
Dukungan petugas kesehatan dapat dilihat dari lima dimensi dukungan bahwa dukungan materi, emosi, penghargaan, informasi dan integritas sosial merupakan bentuk dukungan yang dapat mendorong pemanfaatan VCT (Ermarini, 2013).
Dukungan petugas kesehatan dimaksud dalam penelitian ini adalah berupa kunjungan, dorongan dalam bentuk informasi tentang HIV dan AIDS, juga mengenai VCT serta motivasi yang diberikan oleh petugas kesehatan sebelum responden memanfaatkan maupun selama informan memanfaatkan klinik VCT.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar informan dari kelompok risti tidak pernah mendapat kunjungan dari petugas kesehatan, begitu juga dengan pemberian informasi yang masih kurang. adapun jenis pemeriksaan yang sangat penting bagi kelompok risti adalah pemeriksaan IMS dan test darah, sebagian informan mengaku belum pernah mendapat ajakan dari petugas kesehatan untuk mengikuti program VCT.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fibriana (2013) menunjukkan bahwa dalam melakukan tindakan kesehatan terdapat faktor pencetus untuk memutuskan menerima atau menolak alternatif tindakan tersebut. Isyarat ini dapat bersifat internal maupun eksternal. Isyarat internal, yaitu isyarat untuk bertindak yang berasal dari dalam diri individu. Isyarat eksternal, yaitu isyarat untuk bertindak yang berasal dari interaksi interpersonal, misal media massa, pesan, nasehat, dukungan keluarga, anjuran atau konsultasi dengan petugas kesehatan (Fibriana, 2013).
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Putri (2012) yang menyimpulkan bahwa persepsi ODHA terhadap tenaga kesehatan berhubungan langsung dengan keputusan untuk memanfaatkan pelayanan VCT. Untuk itu perlu kiranya peningkatan kualitas petugas kesehatan dalam memberikan layanan VCT (Putri, 2012).
4.        Pemanfaatan Layanan Klinik VCT
Pemanfaatan layanan VCT adalah Penggunaan klinik VCT oleh responden untuk mendapatkan layanan konseling dan testing HIV secara sukarela. Dikatakan memanfaatkan jika kelompok risti mengikuti setiap tahapan dalam kegiatan VCT, yaitu konseling pra testing, testing HIV dan konseling pasca testing. Tidak memanfaatkan jika kelompok risti tidak mengikuti seluruh tahapan dalam kegiatan VCT atau hanya memanfaatkan untuk sebagian kegiatan, yaitu konseling pra testing saja atau konseling pra testing dan testing HIV saja.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar informan dari kelompok risti bersedia mengikuti seluruh tahapan dalam kegiata VCT mulai dari konseling pra testing, test HIV maupum konselimg pasca testing HIV.
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hao Chun (2011) di China tentang hubungan HIV terkait perilaku seks kelompok LSL. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa perlu perhatian khusus terhadap kelompok LSL, dimana kelompok ini sebagian besar tidak melakukan konseling secara lengkap (tidak sampai kepada post-tets conseling), dikarenakan masalah pelayanan, aksesibility dari layanan VCT, kurangnya privacy, petugas yang tidak professional, stigma dan diskriminasi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kelompok LSL memiliki pengetahuan yang kurang tentang HIV/AIDS (Hao Chun, 2011).













BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A.           Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini tentang studi pemanfaatan layanan klinik  Voluntary Counseling and Testing (VCT) oleh kelompok risti di wilayah kerja Puskesmas Singgani Kota Palu dapat disimpulkan bahwa:
1.        Pengetahuan kelompok risti tentang definisi HIV/AIDS, cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS pada dasarnya sudah baik, namun mereka belum mengetahui tentang layanan VCT, hal ini disebabkan oleh kurangnya informasi yang mereka peroleh.
2.        Stigma dan Diskriminasi bukanlah salah satu faktor penghambat bagi kelompok risti untuk memanfaatkan layanan klinik VCT di Puskesmas Singgani Kota Palu.
3.        Dukungan petugas kesehatan belum maksimal, hal ini disebabkan petugas kesehatan jarang melakukan kunjungan secara langsung terhadap kelompok risti, selain itu pemberian informasi seputar HIV/AIDS dan layanan VCT kepada kelompok risti di wilayah kerja Puskesmas Singgani Kota Palu juga belum maksimal.
4.        Kelompok risti bersedia mengikuti seluruh tahapan dalam pelaksanaan kegiatan VCT mulai dari konseling pra testing, test HIV sampai pada tahapan konseling pasca testing HIV.

B.            Saran
1.        Bagi Instansi
a.         Diperlukan penyebaran informasi yang lengkap mengenai HIV/AIDS dan layanan VCT dalam upaya meningkatkan pengetahuan kelompok risti.
b.         Diharapkan kepada petugas kesehatan agar lebih sering melakukan kunjungan kepada kelompok risti untuk memberikan pelayanan kesehatan serta memberikan informasi tentang HIV/AIDS dan layanan VCT.
c.         Senantiasa melakukan koordinasi dengan KPA.
2.        Bagi Institusi
Diharapkan kepada institusi agar penelitian ini menjadi salah satu bahan referensi kepustakaan dalam ilmu kesehatan sehingga dapat menambah wawasan pengetahuan khususnya dalam ilmu Administrasi Kebijakan Kesehatan
3.        Bagi Peneliti selanjutnya
Kepada peneliti yang lain diharapkan adanya pengkajian mendalam mengenai pemanfaatan layanan klinik VCT oleh kelompok risti.





Daftar Pustaka
Almira, Farida. 2012, Faktor yang Bertubungan dengan Kepatuhan Pengguna Napza suntik Mengakses Layanan Alat Jarum Suntik steril di Pukesmas kassi-kassi Masyarakat. Bagian Epidemiolagi Fakultas Kesehatan Masyarakat Jniversitas Hssanuddin.

Departemen Kesehatan RI. 2008. “Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Di Kabupaten/Kota.” Jakarta: Depkes RI.

Ditjen PP & PL Kemenkes RI. 2014, Laporan perkembangan HIV-AIDS di Indonesia Triwulan III Tahun 2014, http://www.spiritia.or.id/Stats/StatCurr.ph p?lang=id&gg=1(di akses 10 November 2015).

Ermarini, Anggia. 2013. Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemanfaatan Layanan VCT Pada Populasi Beresiko Tinggi Hiv/Aids Di Provinsi Banten Tahun 2013. Depok: Tesis. Magister Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia.

Fibriana, A. I. 2013, Determinan keikutsertaan pelanggan wanita pekerja seks (WPS) dalam program Voluntary Conseling and Testing (VCT). Jurnal Kesehatan Masyarakat, 08(02), 146-151.

Hao, C. 2011, Public health challenges of the emerging HIV epidemic among men

who have sex with men in China, Department of Medical Statistics and Epidemiology, School of Public Health, Sun Yat-sen University, Guangzhou, China


Khairurrahmi. 2010, Pengaruh Faktor Predisposisi, Dukungan Keluarga dan Level Penyakit Orang Dengan HIV-AIDS Terhadap Pemanfaatan VCT di Kota Medan. (Magister), Universitas Sumatera Utara, Medan.

Kepmenkes. 2005, Kepmenkes RI N0.157/MENKES/SK/X/2005 tentang Pedoman Pelayanan konseling dan Testing HIV/AIDS secara sukarela (Voluntary Counselling and Testing). Jakarta: Republik Indonesia.

KPA Propinsi Sulteng, 2015. Laporan Perkembangan HIV AIDS di Sulawesi Tengah, Palu.

Leslie, Butt, Ph. D., dkk. 2010. Stigma dan HIV/AIDS di Wilayah Pegunungan Papua. University of Victoria, Canada

Nurliana. 2010. Pemanfaatan Layanan VCT (Voluntary Counselling and Testing)  Oleh Pekerja Seks Komersial Di Kabupaten Sintang Tahun 2010. Skripsi.  Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta: Jakarta

Notoatmodjo, S. 2010. Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta: Jakarta

Notoatmodjo, S. 2010, Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Nara, A. 2014, Hubungan Pengetahuan, Sikap, Akses Pelayanan Kesehatan, Jumlah Sumber Informasi Dan Dukungan Keluarga Dengan Pemanfaatan Fasilitas Persalinan Yang Memadai Oleh Ibu Bersalin Di Puskesmas Kawangu Kabupaten Sumba Timur. Tesis]. Fakultas Ilmu Kesehatan masyarakat, Universitas Udayana.

Negara, M. P. 2013, Pengaruh Action Learning Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Remaja Tentang Hiv/Aids Dan Klinik Voluntary Counseling And Testing (VCT) Di SMK Perikanan Dan Kelautan Puger Kabupaten Jember.

Putri. 2012, Analisis Faktor Pemanfaatan VCT pada Orang Risiko Tinggi HIV-AIDS JurnalNers, 6 (1), 58-67.

Robbins, Stephen P. 2006. Perilaku Organisasi. Edisi kesepuluh. Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia.

Sari, S. 2010, Analisis Hambatan Pemanfaatan Voluntary Counseling and Testing (VCT) pada Pekerja Seks Komersial di Surakarta dalam Rangka Mewujudkan  MDG’s 2015. Jurnal KesMaDaSka, 35-41.

Sarwono, W. Sarlito. 2012. Pengantar Psikologi Umum. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Setia Adi, G. 2012. Faktor–Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemanfaatan Pelayanan Pengobatan Herbal Pada Pasien Hipertensi Di Balai Pengobatan Alternatif Sutardi Desa Teguh Jajar Kecamatan Karang Malang Sragen. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D, Alfabeta, Jakarta.

Worku, Z. T. 2015. Effect of mass media intervention on HIV and AIDS related stigma and discrimination in Ethiopia. Journal of Development and Communication Studies, 2(2-3), 329-343.

 





0 komentar:

Posting Komentar