STUDI PEMANFAATAN LAYANAN KLINIK VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING (VCT)
OLEH KELOMPOK
RISTI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
SINGGANI
KOTA PALU
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh
SUSILAWATI
12.1.10.7.1.028
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH PALU
TAHUN 2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired
Immuno Deficiency Sindrom(AIDS) di dunia telah menjadi salah satu masalah
global yang memprihatinkan baik di negara maju maupun di negara berkembang.
Telah
ditetapkan Permenkes RI Nomor 21 Tahun 2013 tentang penanggulangan HIV dan AIDS
yang isinya memuat tentang upaya dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Penanggulangan
adalah segala upaya yang meliputi pelayanan promotif, preventif, diagnosis, kuratif
dan rehabilitatif yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan, angka
kematian, membatasi penularan serta penyebaran penyakit agar wabah tidak meluas
ke daerah lain serta mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya.
Klinik VCT merupakan layanan kesehatan untuk medeteksi lebih awal
terjadinya kasus-kasus HIV/AIDS dengan bantuan dokter ataupun konselor yang
bertugas di klinik ini. Konseling dan Deteksi HIV secara sukarela / VCT (Voluntary
Counselling and Testing), saat ini sudah dikenal luas di dunia
internasional sebagai suatu strategi yang efektif dan sangat penting, baik bagi
pencegahan maupun pelayanan HIV/AIDS terutama di kalangan yang berisiko tinggi terkena
HIV/AIDS.
Manfaat VCT telah terbukti menjadi strategi yang efektif untuk
memfasilitasi perubahan perilaku untuk pencegahan HIV dan mengurangi perilaku
berisiko. Penelitian yang dilakukan oleh Family Health International di
Kenya, Tanzania, dan Trinidad, berkolaborasi dengan UNAIDS, WHO dan Pusat Studi
Pencegahan AIDS, Universitas California di San Francisco membuktikan bahwa VCT adalah
suatu strategi yang efektif dan cost-effective, untuk memfasilitasi
perubahan perilaku.
Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan
dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan
HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan
antiretroviral (ARV) dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan
HIV/AIDS yang bertujuan untuk perubahan perilaku ke arah perilaku lebih sehat
dan lebih aman (Kepmenkes RI, 2005).
VCT terbuka untuk siapa saja, yang secara sukarela tanpa paksaan
ingin memeriksakan dirinya terhadap status kesehatannya. Baik untuk orang yang
sehat tanpa gejala HIV (asimtomatik) maupun untuk orang dengan tada-tanda HIV.
Namun, VCT terutama disarankan untuk dilakukan oleh orang-orang dengan risiko
tinggi terhadap penularan virus HIV-AIDS (Depkes RI, 2008).
Pemanfaatan layanan VCT sangat penting di kalangan risiko tinggi
karena mereka menjadi kelompok kunci penularan HIV-AIDS. Hubungan seksual, baik
heteroseksual maupun homoseksual adalah model utama penularan HIV. Tidak dapat
dipungkiri perilaku seksual di kelompok risiko tinggi komunitas waria
memberikan kontribusi penularan HIV/AIDS yang signifikan.
Penyebab meningkatnya prevalensi HIV-AIDS karena kurangnya
kesadaran untuk memanfaatkan layanan VCT terutama bagi orang risiko tinggi.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi orang risiko tinggi untuk memanfaatkan
VCT. Model perubahan perilaku Health Belief Model (HBM) yang dikemukakan
oleh Rosenstock, menyatakan bahwa perilaku individu ditentukan oleh motif dan
kepercayaan yang meliputi persepsi kerentanan terhadap penyakit (perceived
susceptibility), persepsi keseriusan terhadap ancaman kesehatan (perceived
seriousness), persepsi manfaat dan hambatan terhadap perubahan perilaku
kesehatan (perceived benefit and barrier), self efficacy, serta faktor
pendorong (cues to action). Dalam konsep ini diasumsikan bahwa seseorang
akan melakukan tindakan bila merasakan efek negatif dari situasi yang
dialaminya, mempunyai harapan akan adanya perbaikan dan ada keyakinan akan
keberhasilan suatu tindakan.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi orang risiko tinggi untuk
memanfaatkan VCT. Kerentanan dan ancaman yang dirasakan terhadap HIV/AIDS yang
rendah menyebabkan keengganan mereka memanfaatkan VCT, Terdapat berbagai hal
yang menjadi hambatan untuk mengakses VCT di antaranya permasalahan jumlah
pelayanan VCT yang masih terbatas di puskesmas dan rumah sakit tertentu memang
mengakibatkan kesulitan bagi populasi kunci untuk mengaksesnya mengingat saat
ini epidemi HIV-AIDS menimbulkan jumlah populasi berisiko yang besar dan
tersebar pada wilayah yang sangat luas.
Selain itu dari faktor individu itu sendiri yang takut dengan
hasil tes yang positif, merasa tidak berisiko terhadap HIV/AIDS, serta perasaan
takut distigma. Faktor keluarga ikut menjadi penghalang seperti larangan suami
terhadap istri untuk melakukan VCT. Stigma dan diskriminasi masyarakat yang
tinggi dan sensitif terhadap masalah HIV/AIDS (Setia, 2012).
Pada
tahun 2014 telah terdapat 1.391 layanan klinik VCT yang tersebar di seluruh
provinsi di Indonesia Klinik VCT hingga September 2014 yang telah dimanfaatkan
oleh masyarakat dengan jumlah kunjungan yaitu 762.624 kunjungan (Ditjen PP dan
PL Kemenkes RI, 2014).
Sementara itu, di Sulawesi Tengah terdapat 7 klinik layanan VCT, pada
tahun 2015 pemanfaatan layanan klinik VCT di Kota Palu sebanyak 2.945 total
kunjungan masing-masing data dari Puskesmas Birobuli sebanyak 516 kunjungan, Puskesmas Kamonji sebanyak 414
kunjungan, Puskesmas Pantoloan sebanyak 170 kunjungan, Puskesmas Talise
sebanyak 433 kunjungan dan Puskesmas Singgani sebanyak 158 kunjungan, sementara
data dari 2 rumah sakit yaitu RSUD Anutapura sebanyak 1.116 kunjungan dan RSUD
Undata Palu sebanyak 138 kunjungan (KPA Propinsi Sulawesi Tengah, 2015).
Sulawesi
Tengah dengan jumlah 686 kasus HIV dan 399 kasus AIDS serta itu sebanyak 159 Meninggal dunia. Jika
menggunakan estimasi kasus 1:100 maka di Sulawesi Tengah diprediksi ada sekitar
108.500 kasus, sungguh angka yang sangat banyak. Karena itulah kasus
HIV/AIDS menggambarkan seperti gunung es, puncaknya saja yang terlihat
padahal yang tidak terlihat lebih banyak lagi (KPA Propinsi Sulawesi Tengah, 2015).
Berdasarkan
data hasil pemetaan populasi beresiko yang dilakukan oleh KPA Propinsi Sulawesi
Tengah, Di Kota Palu terdapat 1.098 populasi beresiko yang tersebar di 98
hotspot dimana diantaranya terdiri dari WPSL sebanyak 211 orang, WPSTL sebanyak
392 orang, Waria sebanyak 120 orang dan LSL sebanyak 375 orang (KPA Propinsi
Sulawesi Tengah, 2015).
Pada
tahun 2015 pemanfaatan layanan klinik VCT di Kota Palu sebanyak 2.945 total
kunjungan masing-masing data dari Puskesmas Birobuli sebanyak 516 kunjungan, Puskesmas Kamonji sebanyak 414
kunjungan, Puskesmas Pantoloan sebanyak 170 kunjungan, Puskesmas Talise
sebanyak 433 kunjungan dan Puskesmas Singgani sebanyak 158 kunjungan, sementara
data dari 2 rumah sakit yaitu RSU Anutapura sebanyak 1.116 kunjungan dan RSUD
Undata Palu sebanyak 138 kunjungan (Dinkes Kota Palu, 2015).
Melihat permasalahan kasus HIV dan AIDS yang terus meningkat dan penyebarannya yang cepat dibutuhkan program jangka panjang
yang mampu menurunkan angka kasus HIV/AIDS. Salah satu program yang dilaksanakan Pemerintah untuk mencegah penularan HIV-AIDS adalah Voluntary
Counseling and Testing (VCT). VCT perlu dilakukan karena merupakan pintu
masuk untuk menuju ke seluruh layanan HIV-AIDS.
Puskesmas
diharapkan sebagai tonggak utama dalam upaya Preventif dan Promotif bagi masyarakat, khususnya dalam upaya
mendeteksi dini penyakit HIV/AIDS melalui pemanfaatan layanan klinik VCT oleh
masyarakat, namun berdasarkan data tersebut diketahui bahwa dari 5 Puskesmas di
Kota Palu yang menyediakan layanan klinik VCT, jumlah kunjungan paling rendah
yaitu di Puskesmas Singgani, Sehingga peneliti melakukan penelitian tentang
studi pemanfaatan layanan klinik Voluntary
Counseling and Testing (VCT) oleh kelompok risti di wilayah kerjs Puskesmas
Singgani Kota Palu.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar Belakang maka rumusan
masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana gambaran pemanfaatan
layanan klinik Voluntary Counseling and
Testing (VCT) oleh kelompok risti di wilayah kerja puskesmas singgani kota
palu? ”.
C.
Tujuan
Penelitian
1.
Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pemanfaatan
layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) oleh
kelompok risti di wilayah
kerja Puskesmas
Singgani Kota Palu”.
2.
Tujuan Khusus
a.
Untuk mengetahui gambaran pemanfaatan
layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)
berdasarkan pengetahuan kelompok risti di wilayah kerja Puskesmas Singgani Kota
Palu.
b.
Untuk mengetahui gambaran pemanfaatan
layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)
berdasarkan stigma dan diskriminasi terhadap kelompok risti di wilayah kerja
Puskesmas Singgani Kota Palu.
c.
Untuk mengetahui gambaran pemanfaatan
layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)
berdasarkan dukungan petugas kesehatan terhadap kelompok risti di wilayah kerja
Puskesmas Singgani Kota Palu.
D.
Manfaat Penelitian
1.
Bagi Institusi
Sebagai salah
satu sumber referensi bagi kepentingan keilmuan dalam mengatasi masalah yang
sama atau terkait dimasa yang akan datang.
2.
Bagi Instansi
a.
Memperoleh gambaran mengenai layanan klinik VCT di Kota Palu
b.
Memperoleh gambaran mengenai hambatan
dalam pemanfaatan layanan VCT oleh
kelompok risti (WPS, LSL, Waria, pelanggan WPS) di Puskesmas khususnya di Kota Palu.
c.
Sebagai bahan masukan dan pertimbangan
untuk menentukan langkah strategis dalam upaya menarik minat kelompok risti ataupun masyarakat untuk menggunakan
layanan klinik VCT di Puskesmas.
3.
Bagi Peneliti
Memberikan pengalaman dan
pemahaman dalam merencanakan atau melaksanakan penelitian serta menyusun
laporan hasil penelitian, dan menambah wawasan pengetahuan bagi peneliti dan
umumnya bagi mahasiswa Universitas Muhammadiyah Palu Khususnya Fakultas
Kesehatan Masyarakat.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Definisi HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus
(HIV) adalah virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia. HIV ini menyerang
sel-sel darah putih yang berfungsi untuk melindungi tubuh dari serangan
penyakit. Salah satu unsur yang penting dalam sistem kekebalan tubuh adalah sel
CD4 yang merupakan salah satu jenis sel darah putih. Namun sel CD4 dibunuh
ketika HIV menggandakan diri dalam darah. Semakin lama individu terinfeksi HIV
maka semakin banyak sel CD4 dibunuh sehingga jumlah sel semakin rendah dan
kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk melindungi diri dari infeksi semakin
rendah. Seseorang yang terinfeksi HIV tetapi tanpa gejala disebut HIV positif
dan ketika gejala seperti infeksi oportunistik yang lain muncul maka individu
tersebut memasuki fase AIDS.
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disertai oleh
infeksi HIV. Gejala-gejala tersebut tergantung dari infeksi oportunistik yang
menyertainya. Infeksi oportunistik terjadi karena menurunnya daya tahan tubuh
yang disebabkan rusaknya imun tubuh akibat infeksi HIV tersebut.
1.
Cara
Penularan HIV/AIDS
HIV
tidak dapat tersebar dengan sendirinya atau bertahan lama diluar tubuh manusia.
Virus tersebut membutuhkan cairan tubuh manusia untuk bisa hidup, bereproduksi
dan mampu menularkan ke orang lain. Virus tersebut ditularkan melalui darah,
air mani, cairan vagina, dan air susu ibu dari pengidap HIV. Widjajanti (2009)
mengatakan ada tiga metode penyebaran virus HIV tersebut, yakni:
a.
Hubungan seks tidak aman
Hubungan seks melalui
vagina, anal, dan oral dengan pengidap HIV atau penderita AIDS merupakan cara
yang banyak terjadi pada penularan HIV dan AIDS.
b.
Melalui Darah yang Tercemar
HIV
Penyebaran virus HIV
juga terjadi ketika orang menggunakan jarum suntik atau alat injeksi yang tidak
steril secara bersama, biasanya terjadi di kalangan para pengguna narkoba yang
di antara mereka ada yang mengidap HIV. Penyebaran juga terjadi di beberapa
tempat-tempat perawatan kesehatan yang tidak memenuhi standar atau melalui
transfusi darah yang belum dilakukan screening terhadap HIV. Penggunaan
peralatan tato dan alat tindik yang tidak steril dapat juga menyebarkan virus
HIV.
c.
Melalui Ibu kepada Anaknya
Seorang wanita yang
mengidap HIV dapat menularkan virus HIV kepada anaknya pada saat kehamilan,
kelahiran atau pada masa menyusui.
2.
Gejala
HIV/AIDS
Orang
yang terinfeksi virus HIV belum tentu AIDS. Perlu waktu 3-10 tahun untuk
menjadi AIDS. HIV positif belum tentu AIDS, tetapi akhirnya akan menjadi AIDS,
dan status HIV positif tidak pernah berubah menjadi HIV negatif. Secara
ringkas, tahapan perubahan dari HIV ke AIDS yaitu:
a.
Fase 1
Pada fase ini individu
sudah terpapar dan terinfeksi, tetapi ciri-ciri infeksi belum terlihat meskipun
dilakukan tes darah, namun bisa juga mengalami gejala ringan, seperti flu
(biasanya 2-3 hari dan sembuh sendiri). Umur infeksi 3 – 6 bulan.
b.
Fase 2
Umur infeksi 3 – 10
tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase ini individu sudah positif HIV, tapi
belum menampakkan gejala sakit
(atau bisa saja
menampakkan gejala ringan, misalnya flu 2–3 hari dan sembuh sendiri) dan sudah
dapat menularkan kepada orang lain.
c.
Fase 3
Gejala-gejala penyakit
mulai muncul, antara lain keringat yang berlebihan di malam hari, diare
terus-menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang tidak
sembuh-sembuh, nafsu makan berkurang dan badan menjadi lemah, serta berat badan
terus berkurang, dan system kekebalan tubuh mulai berkurang. Pada fase ini
belum disebut sebagai gejala AIDS.
d.
Fase 4
Sudah masuk pada fase
AIDS, ada gejala utama dan gejala minor. Jika seseorang memiliki minimal dua
dari tiga gejala utama dan satu dari lima gejala minor, maka dapat disimpulkan
menderita AIDS.
1)
Gejala utama yaitu:
a)
Demam berkepanjangan lebih
dari tiga bulan,
b)
Diare kronis lebih dari satu
bulan
c)
Penurunan berat badan lebih
dari 10% dalam tiga bulan.
2)
Gejala minor yaitu:
a)
Batuk kronis lebih dari satu
bulan Infeksi pada mulut dan tenggorokan yang disebabkan oleh Candida albicans,
b)
Pembengkakan kelenjar getah
bening yang menetap di seluruh tubuh,
c)
Munculnya Herpes Zoster yang
berulang
d)
Adanya bercak-bercak gatal
di seluruh tubuh.
3.
Kelompok
Risiko Tinggi HIV/AIDS
Kelompok
masyarakat yang mempunyai perilaku risiko tinggi tertular HIV/AIDS adalah:
a.
Pengguna
napza suntik (injection drug users / IDU)
Secara umum Napza suntik
adalah penyalahgunaan narkotika yang cara mengkonsumsinya adalah dengan
memasukkan obat-obatan berbahaya ke dalam tubuh melalui alat bantu jarum
suntik. Pengguna Napza suntik yang umumnya disebut IDU (Injecting Drug User)
yang berarti individu yang menggunakan obat terlarang (narkotika) dengan cara
disuntikkan menggunakan alat suntik ke dalam aliran darah. Penggunaan napza
melalui jarum suntik bergantian adalah salah satu cara paling efisien untuk
menularkan HIV/AIDS di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia, sampai
saat ini (Nara, 2014).
b.
Pasangan
Penasun yang bukan penasun (Partners of IDU)
Pasangan penasun adalah
pasangan seks penasun baik pasangan seks tetap (istri/suami/pacar), pasangan
seks kasual (singkat dan sewaktu-waktu, bisa teman atau kenalan) dan pasangan
seks komersial. Sebagian dari pasangan itu juga memiliki pasangan seksual lain,
termasuk pada pasangan tetap penasun. penasun cenderung tidak menggunakan
kondom jika berhubungan seks dengan pasangan yang tetap, tinggal serumah,
dikenal dalam jangka waktu lama. Laporan Program Penanggulangan HIV/AIDS pada
Pengguna Napza Suntik Tahun 2009 yang diterbitkan Family Health International – Program Aksi Stop AIDS menyebutkan, hanya
sekitar 20% penasun menyatakan tidak memiliki pasangan seksual, selebihnya
memiliki variasi pasangan seks yang beragam seperti memiliki pasangan tetap,
pasangan tidak tetap, pasangan komersial atau kombinasi dari ketiga jenis
pasangan seks tersebut.
c.
Wanita
Penjaja Seks (WPS) / Female Sex Worker (FSW)
Wanita pekerja seks (WPS) adalah merupakan kelompok resiko tinggi
terkena IMS mengingat pada kelompok ini terbiasa melakukan aktivitas seksualnya
dengan pasangan yang tidak tetap, dengan tingkat mobilitas yang sangat tinggi
di kelompok tersebut. WPS terbagi menjadi dua, yaitu:
1)
Wanita
Penjaja Seks Langsung (WPSL) adalah wanita yang
beroperasi secara terbuka sebagai penjaja seks komersial.
2)
WPS
Tidak Langsung (WPSTL) adalah wanita yang
beroperasi secara terselubung sebagai penjaja seks komersial, yang biasanya
bekerja pada bidang-bidang pekerjaan tertentu seperti bar, panti pijat dan
sebagainya.
d.
Pelanggan
WPS (Client of FSW)
Pelanggan WPS adalah kelompok risiko tinggi hal ini disebabkan
oleh masih terdapat banyak pelanggan yang tidak mau menggunakan kondom saat
berhubungan seks dengan WPS. Pada tahun 2011, sepertiga perempuan pekerja seks
menyatakan tidak menggunakan kondom dengan pelanggan terakhir mereka dan
kira-kira 39 persen laki-laki pelanggan perempuan pekerja seks tidak
menggunakan kondom dalam hubungan seksual komersial terakhir mereka.
e.
Pasangan
Pelanggan WPS (Partner of FSW Client)
Dalam situasi ini, laki-laki dapat menjadi jembatan penularan pada pasangan seks yang sesungguhnya tidak
berperilaku risiko tinggi. Bahkan diantara mereka memiliki tiga jenis pasangan
seks yakni pasangan tetap, WPS dan pasangan tidak tetap. Mereka dapat
menularkan HIV ke pasangannya melalui hubungan seks tanpa penggunaan kondom.
f.
Lelaki
Suka Seks dengan Lelaki (LSL) / (Male Sex with Male)
Lelaki suka Seks dengan Lelaki (LSL) adalah pria
yang mengakui dirinya sebagai orang yang biseksual/homoseksual.
Aktivitas seks mereka umumnya adalah seks anal dan oral. Seks anal atau
melakukan hubungan seks melalui anus mempunyai risiko perlukaan pada anus
(karena anus tidak elastis), sehingga dengan adanya luka di daerah anus, jika
pasangan seks terkena IMS dan HIV maka akan lebih mudah ditularkan. Tingkat
penggunaan kondom juga masih rendah, demikian juga halnya dengan informasi
tentang penularan IMS dan HIV/AIDS.
g.
Waria
(Transvestite)
Wanita-pria (waria) adalah pria yang berjiwa dan bertingkah laku,
serta mempunyai perasaan seperti wanita. Tidak dapat dipungkiri perilaku
seksual di kelompok risiko tinggi komunitas waria memberikan kontribusi
penularan HIV/AIDS yang signifikan. Yayasan Riset AIDS Amerika, AMFAR
menyimpulkan, MSM (Man that have Sex with Man) dan waria ternyata
berisiko 19 kali lebih besar tertular penyakit HIV ketimbang masyarakat umum, AMFAR
mengeluarkan kesimpulan ini setelah melakukan penelitian di 129 negara.
h.
Pelanggan
Waria (Client of Transvestite)
Pelanggan waria adalah laki-laki, aktivitas seks mereka umumnya
adalah seks anal dan oral. Perilaku seks yang tidak aman menyebabkan penularan
HIV dapat terjadi.
i.
Warga
Binaan Permasyarakatan (Prisoner)
Penularan penyakit HIV/AIDS terjadi juga pada penghuni di Lembaga
pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan). Hal ini dikarenakan
penghuni Rutan/Lapas sebagian besar adalah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)
pengguna narkoba. Pemakaian jarum suntik yang bergantian memang merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya penularan HIV-AIDS dengan cepat.
B.
Klinik Voluntary
Counseling and Testing (VCT)
Voluntary Counseling and Testing
(VCT) adalah konseling dan testing HIV dan AIDS secara sukarela yang menjadi
salah satu strategi kesehatan berupa pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan
HIV dan AIDS berkelanjutan. Layanan VCT dapat dilakukan di sarana kesehatan
yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau masyarakat yang
berlandaskan pada pedoman konseling dan testing HIV dan AIDS sukarela, agar
mutu layanan dapat dipertanggungjawabkan (Depkes, 2005).
Konseling
dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis,
informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan
perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan antiretroviral (ARV) dan
memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS yang bertujuan
untuk perubahan perilaku ke arah perilaku lebih sehat dan lebih aman (Kepmenkes
RI, 2005).
1.
Prinsip
Pelayanan VCT
VCT
merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke
seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan yang berdasarkan prinsip:
a)
Sukarela dalam melaksanakan
testing HIV
Pemeriksaan HIV hanya
dilaksanakan atas dasar kerelaan klien, tanpa paksaan dan tanpa tekanan.
Keputusan untuk dilakukan tes HIV sepenuhnya diputuskan oleh klien.
b)
Saling mempercayai dan
terjaminnya konfidensialitas
Layanan VCT harus
bersifat professional, menghargai hak dan martabat semua klien. Hal ini berarti
semua informasi yang disampaikan klien, begitu pula terhadap semua informasi
tertulis, harus dijaga kerahasiaannya oleh konselor dan petugas kesehatan,
tidak diperkenankan didiskusikan diluar konteks kunjungan klien.
c)
Mempertahankan hubungan
relasi konselor-klien yang efektif
Konselor mendukung
klien untuk kembali mengambil hasil testing dan mengikuti pertemuan konseling
pasca testing untuk mengurangi prilaku beresiko. Dalam VCT dibicarakan juga
respon dan perasaan klien dalam menerima hasil testing dan tahapan penerimaan
hasil testing positif.
b. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT
WHO dan telah
memberikan pedoman yang dapat digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan
hasil testing senantiasa diikuti dalam pelaksanaan kegiatan konseling pasca
testing yang dilakukan oleh konselor yang sama atau konselor lain yang
disetujui oleh klien ( Kepmenkes, 2005)
2.
Model
Pelayanan VCT
VCT
diimplementasikan dalam berbagai setting dan sangat bergantung pada
kondisi dan situasi daerah setempat, kebutuhan masyarakat dan profil klien,
seperti individual atau pasangan, laki-laki atau perempuan, dewasa atau anak
muda. Adapun model layanan VCT terdiri dari:
a)
Mobile VCT (Penjangkauan dan keliling)
Mobile VCT adalah model layanan dengan penjangkauan dan keliling yang dapat
dilaksanakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau layanan kesehatan yang
langsung mengunjungi sasaran kelompok masyarakat yang memiliki perilaku
berisiko atau berisiko tertular HIV/AIDS di wilayah tertentu. Layanan ini
diawali dengan survei atau penelitian atas kelompok masyarakat di wilayah
tersebut dan survei tentang layanan kesehatan dan layanan dukungan lainnya di
daerah setempat.
b)
Statis VCT (Klinik VCT tetap)
Statis VCT adalah
sifatnya terintegrasi dalam sarana kesehatan dan sarana kesehatan
lainnya, artinya bertempat dan menjadi bagian dari layanan kesehatan
yang telah ada. Sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya harus memiliki
kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan klinik VCT, layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan
pengobatan terkait dengan HIV/AIDS.
3.
Tahapan
Pelayanan VCT
Tahapan
pelayanan VCT secara sukarela meliputi konseling pra testing, testing HIV dalam
VCT, konseling pasca testing dan pelayanan dukungan berkelanjutan.
a.
Pre-test counseling
Pre-test
counseling adalah diskusi antara klien
dan konselor yang bertujuan untuk menyiapkan klien untuk testing, memberikan
pengetahuan pada klien tentang HIV/AIDS. Isi diskusi yang disampaikan adalah
klarifikasi pengetahuan klien tentang HIV/AIDS, menyampaikan prosedur tes dan
pengelolaan diri setelah menerima hasil tes, menyiapkan klien menghadapi hari
depan, membantu klien memutuskan akan tes atau tidak, mempersiapkan informed
consent dan konseling seks yang aman.
b.
HIV testing
Pada umumnya, tes HIV
dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi dalam darah seseorang. Jika HIV telah
memasuki tubuh seseorang, maka di dalam darah akan terbentuk protein khusus
yang disebut antibodi. Antibodi adalah suatu zat yang dihasilkan sistem
kekebalan tubuh manusia sebagai reaksi
untuk membendung serangan bibit penyakit yang masuk. Pada umumnya antibodi
terbentuk di dalam darah seseorang memerlukan waktu 6 minggu sampai 3 bulan
tetapi ada juga sampai 6 bulan bahkan lebih. Jika seseorang memiliki antibodi
terhadap HIV di dalam darahnya, hal ini berarti orang itu telah terinfeksi HIV.
Tes HIV yang umumnya
digunakan adalah Enzyme Linked Imunosorbent Assay (ELISA), Rapid Test
dan Western Immunblot Test. Setiap tes HIV ini memiliki sensitivitas
dan spesifisitas yang berbeda. Sensitivitas adalah kemampuan tes untuk
mendeteksi adanya antibodi HIV dalam darah sedangkan spesifisitas adalah
kemampuan tes untuk mendeteksi antibodi protein HIV yang sangat spesifik.
c.
Post-test counseling
Post-test
counseling adalah diskusi antara
konselor dengan klien yang bertujuan menyampaikan hasil tes HIV klien, membantu
klien beradaptasi dengan hasil tes, menyampaikan hasil secara jelas, menilai
pemahaman mental emosional klien, membuat rencana dengan menyertakan orang lain
yang bermakna dalam kehidupan klien, menjawab, menyusun rencana tentang
kehidupan yang mesti dijalani dengan menurunkan perilaku berisiko dan
perawatan, dan membuat perencanaan dukungan.
C.
Pemanfaatan Layanan Klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT)
Kebutuhan
kesehatan (health need) akan pelayanan kesehatan pada dasarnya bersifat
obyektif karena itu untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan perseorangan,
keluarga, kelompok ataupun masyarakat, upaya untuk memenuhinya bersifat mutlak.
Tuntutan kesehatan (health demands) bersifat subjektif. Tuntutan
kesehatan banyak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan sosial ekonomi (Setia,
2012).
Pemanfatan
merupakan kegunaan dari sebuah program sehingga program ini dapat berguna baik oleh individu atau masyarakat. Proses peningkatan pelayanan kesehatan
tentunya pemanfaatan sebuah program
menjadi bagian dari output atau hasil dari sebuah kebijakan yang di
buat. Tolak ukur pemanfaatan pelayanan Puskesmas pelayanan adalah
tercapainya target kuantitas kunjungan ke Puskesmas.
Pemanfaatan dipengaruhi pelayanan kesehatan oleh masyarakat
dipengaruhi oleh:
1.
Keterjangkauan lokasi tempat pelayanan
Tempat
pelayanan yang tidak strategis sulit dicapai, menyebabkan berkurangnya
pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat.
2.
Jenis dan kualitas pelayanan yang tersedia
Jenis dan
kualitas pelayanan yang kurang memadai menyebabkan rendahnya akses masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan, hal ini didukung oleh ketersediaan sarana dan
prasarana di pelayanan kesehatan.
3.
Keterjangkauan informasi
Informasi
yang kurang menyebabkan rendahnya penggunaan pelayanan kesehatan yang ada.
4.
Tingkat sosial ekonomi
Tingkat sosial ekonomi juga berpengaruh pada keputusan masyarakat
untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan. Hal ini mengingat bahwa kesadaran
seseorang untuk hidup sehat akan berbeda, juga banyaknya alternatif pilihan
untuk memperoleh pengobatan. Karakteristik sosial ekonomi pengunjung dalam hal
ini ditunjukkan oleh tingkat pendidikan, pendapatan, dan mata pencaharian.
Beberapa faktor yang memengaruhi tingkat permintaan
pemanfaatan pelayanan kesehatan telah digolongkan oleh beberapa ahli dalam
beberapa model, yaitu :
1.
Model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief
Model)
Model kepercayaan adalah
suatu bentuk penjabaran dari model sosio-psikologis seperti disebutkan di atas.
Munculnya model ini didasarkan pada kenyataan bahwa problem-problem kesehatan
ditandai oleh kegagalan-kegagalan orang atau masyarakat untuk menerima
usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh
provider. Kegagalan ini akhirnya yang menjelaskan perilaku pencegahan penyakit
(preventive health behavior) yang oleh Becker (1974) dikembangkan dari
teori lapangan (Lewin, 1954) menjadi model kepercayaan kesehatan (health
belief model).
Teori Lewin menganut konsep
bahwa individu hidup pada lingkup kehidupan sosial (masyarakat). Di dalam
kehidupan ini individu akan bernilai, baik positif maupun negative, di suatu
daerah atau wilayah terentu. Apabila seseorang keadaannya atau berada pada
daerah positif, maka berarti ia ditolak dari daerah negatif. Implikasinya di
dalam kesehatan adalah, penyakit atau sakit adalah suatu daerah negatif
sedangkan sehat adalah wilayah positif.
Apabila individu bertindak
untuk melawan atau mengobati penyakitnya, ada
empat variabel kunci yang terlibat di dalam tindakan tersebut, yakni
kerentanan yang dirasakan, manfaat yang diterima dan rintangan yang di alami
dalam tindakannya melawan penyakitnya, dan hal-hal yang memotivasi tindakan
tersebut (Notoatmodjo, 2010).
a.
Kerentanan yang dirasakan (Perceived
susceptibility)
Agar seorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya,
ia harus merasakan bahwa ia rentan (susceptibility) terhadap penyakit
tersebut. Dengan kata lain, suatu tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit
akan timbul bila seseorang telah merasakan bahwa ia atau keluarga rentan
terhadap penyakit tersebut.
b.
Keseriusan yang dirasakan (Perceived
serioussness)
Tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan terhadap
suatu penyakit akan didorong pula oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap
individu atau masyarakat. Penyakit polio, misalnya, akan dirasakan lebih serius
dibandingkan dengan flu. Oleh karena itu, tindakan pencegahan polio akan lebih
banyak dilakukan bila dibandingkan dengan pencegahan (pengobatan) flu.
c.
Manfaat dan hambatan yang
dirasakan (Perceived benefit and barriers)
Apabila individu merasa dirinya rentan untuk penyakit-penyakit
yang dianggap gawat (serius), ia akan melakukan suatu tindakan tertentu.
Tindakan ini tergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan-rintangan
yang ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut. Pada umumnya manfaat tindakan
lebih menentukan dari pada rintangan yang mungkin ditemukan di dalam melakukan
tindakan tersebut misalnya akses yang sulit, stigma dan diskriminasi serta
ketakutan akan hasil VCT dan kerahasiaan status individu.
d.
Isyarat atau tanda-tanda pendorong (cues to action)
Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang
kerantanan, kegawatan dan keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat
yang berupa faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor tersebut, misalnya,
pesan-pesan pada media massa berupa informasi, nasihat atau anjuran kawan-kawan
atau anggota keluarga lain dari si sakit, dan sebagainya.
Pemanfaatan klinik VCT berarti memanfaatkan tahap VCT secara lengkap
yaitu dengan mengikuti seluruh tahapan VCT berupa konseling pra testing,
testing HIV dan konseling pasca testing.
2.
Model Perilaku Lawrence Green (1980)
Perilaku
manusia berasal dari dorongan yang ada didalam diri seseorang untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Manusia dalam hidupnya mempunyai keinginan mempunyai
kesehatan yang optimal sehingga jika tubuh merasakan timbulnya gejala yang
menganggu kesehatannya maka dia berusaha untuk melakukan tindakan pencegahan atau
pengobatan. Munculnya keinginan untuk melakukan tindakan tersebut menjadi
bagian dari perilaku kehidupan manusia.
Menurut
Green (1980), model perilaku kesehatan
menjelaskan tentang konsep perilaku
dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Perilaku masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan di pengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu (Notoatmodjo, 2007) :
a.
Predisposing factor atau
faktor pemungkin yang meliputi:
pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai
yang dianut, persepsi, motivasi dan demografi.
b.
Enabling factor atau faktor pendukung yang meliputi
ketersediaan sarana dan prasarana yang ada dipelayanan kesehatan.
c.
Reinforcing factor atau faktor Pendorong terdiri dari sikap dan perilaku para petugas kesehatan dan petugas
lainnya.
Faktor
yang mempengaruhi pemanfaatan layanan klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT) oleh kelompok risti di wilayah kerja puskesmas Singgani Kota Palu
yaitu:
1.
Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Menurut Notoatmodjo (2010)
pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. pengetahuan
terdiri dari :
a. Pengetahuan Produk, meliputi kumpulan berbagai macam informasi mengenai karakteristik produk, manfaat,
dan kepuasan yang diperoleh dari produk. Dalam hal ini Layanan VCT.
b. Pengetahuan pembelian, terdiri atas pengetahuan tempat dan
pengetahuan lokasi produk. Tempat dan lokasi mendapatkan layanan VCT.
c. Pengetahuan pemakaian, pengetahuan konsumen mengenai penggunaan
produk dengan baik dan benar. Pengetahuan mengenai prosedur mendapatkan layanan
VCT serta manfaat yang diperoleh dari layanan VCT.
Pemanfaatan VCT dapat
dilihat berdasarkan pengetahuan terdiri dari beberapa tingkatan (Notoatmodjo,
2010) yaitu:
1)
Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Pada tingkat ini, mengingat kembali (recall)
mengenai sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya. Untuk mengukur bahwa orang
tahu, antara lain mendefinisikan tentang HIV dan AIDS ataupun VCT.
2)
Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai kemampuan menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara
benar. Dalam hal ini, responden mampu menjelaskan pentingnya pemanfaatan VCT.
3)
Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Dalam hal ini, misalnya
dapat melaksanakan upaya pencegahan
penularan HIV/AIDS.
4)
Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
objek kedalam komponen-komponen dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5)
Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk keseluruhan yang baru.
6)
Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
2.
Stigma dan Diskriminasi
Dalam pengertian yang sederhana, stigma
adalah sikap atau attitude negatif yang terkait dengan keyakinan atau
pengetahuan seseorang. Sedangkan diskriminasi adalah perilaku atau action yang
dilakukan. Dengan demikian asal-usul terjadinya “stigma” dan “diskriminasi”
adalah dari pandangan negatif terhadap orang atau kelompok tertentu yang
dianggap mempunyai sesuatu yang tidak baik (Leslie, 2010).
Stigma dan diskriminasi masih menjadi
masalah didalam upaya pengendalian HIV/AIDS di dunia sehingga masih banyak yang
enggan untuk mengetahui status HIVnya karena takut kalau ketahuan mengidap HIV
akan diperlakukan diskriminatif dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal makin
dini orang mengetahui status HIVnya makin baik untuk dirinya sendiri maupun
orang lain. Stigma dan diskriminasi dalam kaitan dengan HIV/ AIDS sebenarnya
tidak ditujukan kepada jenis kelamin melainkan kepada penyakitnya yang amat
ditakuti.
Masalah akan timbul dalam situasi
ketidak setaraan gender. Perempuan yang termarginalkan dan berada dalam posisi
subordinat bisa menjadi tumpuan kesalahan, selanjutnya memperoleh label sebagai
sumber penularan. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya dari sisi anatomi,
fisiologi dan kedudukan sosial, perempuan lebih rentan tertular HIV/AIDS
daripada laki‐Laki.
Diperlukan komitmen dan upaya-upaya
komprehensif terpadu oleh pemerintah dan seluruh unsur masyarakat untuk
memberdayakan perempuan melalui pendekatan non diskriminatif dan persamaan
sebelum menuju kesetaraan. Hasil yang diharapkan adalah perempuan mempunyai
akses terhadap pendidikan, ketrampilan, informasi dan ekonomi, sehingga
memiliki pengetahuan yang cukup tentang reproduksi dan penyakit serta mempunyai
akses untuk meningkatkan ekonominya sehingga mampu memperoleh pekerjaan dan
penghasilan yang setara dengan laki‐laki
baik di sektor formal maupun informal. Demikian pula perempuan harus diberi
wadah berorganisasi dan bisa memasuki wadah tersebut guna meningkatkan
kapasitas sosialnya. Dengan demikian tidak akan ada lagi diskriminasi dalam
bekerja, tidak hanya perempuan HIV positif tetapi perempuan secara keseluruhan.
Bentuk lain dari stigma berkembang melalui internalisasi oleh Odha dengan
persepsi negatif tentang diri mereka sendiri.
Stigma dan diskriminasi yang dihubungkan
dengan penyakit menimbulkan efek psikologi yang berat tentang bagaimana ODHA melihat
diri mereka sendiri. Hal ini bisa mendorong, dalam beberapa kasus, terjadinya
depresi, kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan. Stigma dan diskriminasi
juga menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang takut untuk mengetahui
apakah mereka terinfeksi atau tidak, atau bisa pula menyebabkan mereka yang
telah terinfeksi meneruskan praktek seksual yang tidak aman karena takut
orang-orang akan curiga terhadap status HIV mereka. Akhirnya, Odha dilihat
sebagai "masalah", bukan sebagai bagian dari solusi untuk mengatasi
epidemi ini.
Deklarasi Komitmen yang diadopsi oleh
Majelis Umum PBB dalam sesi khusus tentang HIV/ AIDS menyerukan untuk
memerangi stigma dan diskriminasi. Ini menunjukkan fakta bahwa diskriminasi
merupakan pelanggaran HAM. Ini juga secara jelas menyatakan bahwa melawan
stigma dan diskriminasi adalah merupakan prasyarat untuk upaya pencegahan dan
perawatan yang efektif.
3.
Dukungan
Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan adalah
semua orang yang bekerja secara aktif dan professional di bidang kesehatan. Hal
tersebut berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik
Indonesia yaitu PP No.32 Tahun 2006 menyatakan bahwa petugas kesehatan sebagai
pelaksana ketentuan Undang-Undang no.23 Tahun 1992 tentang kesehatan. Para
petugas kesehatan tersebut memiliki pendidikan formal kesehatan ataupun tidak,
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan
(Almira, 2012).
Menurut Snehandu Kar dalam
Notoatmodjo (2010), perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh
ada tidaknya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessability
of information) yang dapat diperoleh masyarakat dari petugas kesehatan. Maka, pemberian informasi tersebut
merupakan wujud dukungan yang diberikan oleh petugas kesehatan kepada
masyarakat.
Dukungan petugas kesehatan
dapat dilihat dari lima dimensi dukungan yaitu dukungan materi, emosi,
penghargaan, informasi dan integritas sosial merupakan bentuk dukungan yang
dapat mendorong pemanfaatan VCT.
Adapun dukungan materi oleh
petugas kesehatan hanya dapat sebatas tersedianya klinik VCT yang sesuai dengan
Pedoman Pleayanan Konseling dan Testng HIV dan AIDS Secara Sukarela (2005).
Dalam pedoman pelayanan tersebut telah diatur mengenai sarana dan prasarana
yang harus disiapkan dalam pelaksanaan layanan klinik VCT tersebut guna menjaga
mutu pelayanan VCT agar pemanfaatannya terus meningkat (Depkes RI, 2008).
Dukungan emosi oleh petugas
kesehatan merupakan ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik
maupun psikologis. Menurut Notoatmodjo (2010), emosi yang sehat tercermin dari
kemampuan seseorang mengekspresikannya dan hal tersebut dapat menjadi motivasi
dan rasa nyaman seseorang bila ingin memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan,
seperti klinik VCT.
BAB
III
KERANGKA
KONSEP
A.
Dasar
Pemikiran Variabel yang Diteliti
Perilaku
kesehatan masyarakat menentukan pilihan masyarakat terhadap berbagai fasilitas
pelayanan kesehatan mana yang digunakan untuk mendapatkan penanganan fraktur.
Perilaku masyarakat dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat terhadap kesehatan.
Model kepercayaan kesehatan (health belief
model) menjadi dasar dalam perilaku masyarakat ini, dengan
variabel-variabel pada kerangka teorinya adalah persepsi terhadap kerentanan (perceived susceptibility), persepsi
terhadap keseriusan sakit (perceived
severity) yang merupakan persepsi terhadap ancaman (perceived threat), persepsi
terhadap manfaat dan rintangan-rintangan (perceived benefits and barriers), serta isyarat
atau tanda-tanda pendorong (cues to
action) (Notoatmodjo, 2010).
Pemanfaaan pelayanan kesehatan
merupakan bagian dari perilaku kesehatan yang menentukan status kesehatan
seseorang atau masyarakat. Menurut teori Lawrence
Green (1980), faktor-faktor penyebab perilaku kesehatan terdiri dari faktor
predisposisi, faktor pendukung (enabling),
dan faktor pendorong (reinforcing factors).
Faktor predisposisi berasal dari latar belakang seseorang atau masyarakat pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai yang dianut, persepsi, motivasi dan
demografi. Faktor pendukung perilaku meliputi ketersediaan sarana dan prasarana yang ada
dipelayanan kesehatan, faktor pendorong meliputi
sikap dan perilaku para petugas kesehatan dan petugas lainnya (Notoatmodjo,
2007).
B.
Pola
Pikir
Pengetahuan
|
Pemanfaatan
Layanan Klinik VCT oleh Kelompok Risti
|
Stigma dan
Diskriminasi
|
Dukungan
Petugas Kesehatan
|
Gambar
3.1 Pola Pikir Penelitian
C.
Definisi
Konsep
1.
Pengetahuan
Pengetahuan
adalah segala sesuatu yang diketahui oleh informan berkaitan
dengan definisi, cara penularan, dan cara pencegahan HIV/AIDS serta definisi klinik VCT.
Cara Ukur : Wawancara
2.
Stigma dan Diskriminasi
Pandangan
dan tindakan negatif yang mendorong seseorang untuk memperlakukan orang lain
secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka mereka akan status HIV
seseorang.
Cara
Ukur : Wawancara
3.
Dukungan Petugas Kesehatan
Dorongan dalam bentuk kunjungan, pemberian informasi tentang HIV/AIDS,
juga mengenai VCT serta motivasi yang diberikan oleh petugas kesehatan sebelum
informan memanfaatkan maupun selama informan memanfaatkan klinik VCT.
Cara
Ukur : Wawancara
4.
Pemanfaatan Layanan Klinik VCT
Pemanfaatan klinik VCT
berarti memanfaatkan tahap VCT secara lengkap yaitu dengan mengikuti
seluruh tahapan VCT berupa konseling pra testing, testing HIV dan konseling
pasca testing.
Cara
Ukur : Wawancara
BAB IV
METODE
PENELITIAN
A.
Jenis
Penelitian
Penelitian
ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dengan
menggunakan metode wawancara mendalam (indepth
interview) baik itu berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
yang ditemukan sebagai informan.
B.
Lokasi
dan Waktu Penelitian
1.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini
dilaksanakan di puskesmas singgani dan lokasi kelompok risti yang berada di
wilayah kerja puskesmas singgani kota palu.
2.
Waktu Penelitian
Penelitian ini akan
dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan April 2016.
C.
Informan
Informan
penelitian yang dipilih dalam penelitian ini mengacu pada prinsip kesesuaian (appropriatness) dan kecukupan (adequacy), yaitu orang-orang yang
mengetahui tentang kelompok risti tertular HIV/AIDS dan menjadi sasaran
pemeriksaan VCT.
D.
Teknik
Penentuan Informan
Prosedur
sampling yang terpenting dalam
penelitian kualitatif adalah bagaimana menentukan informan kunci (key person) atau situasi sosial yang
sarat informasi sesuai fokus penelitian.
Pemilihan
sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik nonprobability merupakan teknik yang tidak memberikan peluang atau
kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi
sampel. Penentuan sampel ditentukan dengan cara purposive sampling, dimana sampel ditentukan berdasarkan
pertimbangan tertentu yakni pertimbangan pada kemampuan informan untuk
memberikan informasi lengkap (Sugiyono, 2012).
1.
Informan kunci dalam penelitian ini
adalah ketua RT, Mucikari, Konselor dan Petugas Lapangan (PL)
2.
Informan biasa dalam penelitian ini
adalah LSL, Waria dan WPS
3.
Informan tambahan dalam penelitian ini adalah
Pelanggan WPS
E.
Pengumpulan
Data
Teknik pengumpulan data yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
1.
Metode Observasi (Pengamatan)
Pengamatan adalah
teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat
secara sistematika gejala-gejala yang diselidiki. Pengamatan dilakukan untuk
melihat bagaimana tiap-tiap proses diselidiki, serta mengamati bagaimana proses
masukkan dan keluaran serta penyajian.
2.
Metode Interview
Metode ini disebut juga
dengan metode wawancara yaitu suatu metode pengumpulan data yang dilakukan
melalui tanya jawab secara langsung dengan sumber data. Metode wawancara ini
dilakukan oleh peneliti dengan bantuan alat perekam (tape recorder).
3.
Metode Dokumentasi
Sumber data yang
terdapat dalam penelitian kualitatif dapat berupa dokumen, foto-foto dan bahan
statistik. Metode dokumentasi ini merupakan salah satu untuk pengumpulan data
yang paling mudah, karean peneliti hanya mengamati benda mati apabila mengalami
kekeliruan mudah untuk merevisinya karena sumber datanya tetap tidak berubah.
4.
Telaah Dokumen
Telaah dokumen adalah
mengidentifikasi dokumen yang berhubungan dengan pemanfaatan layanan klinik VCT
oleh kelompok risti di wilayah kerja puskesmas singgani kota palu yang ada pada
saat ini dan diperiksa beberapa komponen di antaranya kesesuaian, akurasi, dan
kelengkapannya.
F.
Pengolahan
dan Penyajian Data
1.
Pengolahan Data
Pengolahan data dalam
penelitian ini menggunakan pendekatan analisa isi (content anakisis) dengan teknik matriks dimana informasi diolah
dalam tabel misalnya: no, nama informan, emik, etik, kesimpulan.
2.
Penyajian Data
Data/informasi yang
telah diolah akan disajikan dalam bentuk narasi atau cerita.
BAB
V
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A.
Gambaran
Umum Lokasi Penelitian
1.
Letak Geografis
Puskesmas Singgani berada di wilayah
kecamatan Palu Timur yang memiliki luas wilayah 104,02 km² dan secara
administratif pemerintahan terdiri atas 5 kelurahan, 30 RW serta 97 RT.
Wilayah
kerja Puskesmas Singgani mencakup lima kelurahan yaitu:
a.
Kelurahan Besusu Barat
b.
Kelurahan Besusu Tengah
c.
Kelurahan Besusu Timur
d.
Kelurahan Lasoani
e.
Kelurahan Poboya
Adapun penyebaran jumlah RW dan RT dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.1
Distribusi
Kelurahan, RW dan RT dirinci Menurut Kelurahan
Di Wilayah Puskesmas
Singgani Kota Palu Tahun 2014
No
|
Kelurahan
|
Luas Wilayah (km²)
|
RW
|
RT
|
1
|
Besusu Barat
|
0,87 km²
|
9
|
25
|
2
|
Besusu Tengah
|
2,26 km²
|
5
|
14
|
3
|
Besusu Timur
|
0,26 km²
|
4
|
20
|
4
|
Lasoani
|
36,86 km²
|
8
|
30
|
5
|
Poboya
|
63,41 km²
|
4
|
8
|
|
Puskesmas Singgani
|
104,02 km²
|
30
|
97
|
Sumber :
Profil Kesehatan Puskesmas Singgani Tahun 2014
Jumlah Penduduk di wilayah
Puskesmas Singgani pada Tahun 2014 berjumlah 44.692 jiwa. Jumlah penduduk
perkelurahan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.2
Distribusi Jumlah
Penduduk/Kelurahan di Wilayah
Puskesmas
Singgani Kota Palu Tahun 2014
No
|
Kelurahan
|
Luas Wilayah (km²)
|
1
|
Besusu Barat
|
14.982
|
2
|
Besusu Tengah
|
8.723
|
3
|
Besusu Timur
|
8.573
|
4
|
Lasoani
|
10.124
|
5
|
Poboya
|
2.290
|
|
Puskesmas Singgani
|
44.692
|
Sumber : Profil Kesehatan Puskesmas Singgani Tahun 2014
2.
Sumber Daya Tenaga Kesehatan
Upaya kesehatan dapat berdaya guna dan berhasil guna
bila ditunjang dengan tenaga, biaya dan sarana yang memadai. Pada tahun 2014
jumlah tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas Singgani sebanyak 55 orang dengan
rincian sebagai berikut:
Tabel 5.3
Distribusi Jumlah Tenaga
Kesehatan di Puskesmas Singgani
Kota Palu Tahun 2014
No
|
Tenaga Kesehatan
|
Jumlah/Orang
|
1
|
Dokter Umum
|
1
|
2
|
Dokter Gigi
|
1
|
3
|
SKM
|
3
|
4
|
S1 Kebidanan
|
2
|
5
|
Akbid
|
2
|
6
|
Bidan
|
6
|
7
|
Bidan Kelurahan
|
8
|
8
|
Akper
|
8
|
9
|
Perawat
|
8
|
10
|
Perawat Gigi
|
3
|
11
|
Apoteker
|
1
|
12
|
Akademi Farmasi
|
2
|
13
|
Asisten Apoteker
|
1
|
14
|
Analis Kesehatan
|
1
|
15
|
AKL
|
1
|
16
|
SPPH
|
2
|
17
|
Akademi Gizi
|
-
|
18
|
SMA
|
2
|
19
|
Bidan PTT
|
3
|
|
Jumlah
|
55
|
Sumber : Profil Kesehatan
Puskesmas Singgani Tahun 2014
3.
Sejarah Singkat Klinik VCT di UPTD Urusan Puskesmas
Singgani
Kegiatan Voluntary Cuonseling and Testing atau biasa dikenal dengan VCT
pertama kali dilaksanakan pada tahun 2011 di Puskesmas Singgani, sebelumnya Puskesmas
Singgani menunjuk salah satu tenaga kesehatan yang bekerja disana untuk
mengikuti pelatihan konselor, dimana konselor ini yang nantinya akan bertugas
untuk memberikan bimbingan konseling pada orang yang akan di VCT. Selama
pelaksanaan VCT, Puskesmas Singgani melakukan kegiatan VCT mobile yaitu dengan
mendatangi orang-orang yang ingin di VCT.
Selama kurang lebih 4 tahun melaksanakan
kegiatan VCT mobile maka setelah adanya Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2014 tentang
pengendalian human immunodeficency virus, aquired
immunodeficiency deficiency syndrome dan Infeksi menular
seksual (IMS) maka pada tahun 2015 Puskesmas Singgani membuka layanan konseling di
Puskesmas Singgani karena sudah memiliki ruang khusus konseling. Adapun jumlah
kunjungan VCT selama tahun 2015 di Puskesmas Singgani yaitu 158 kunjungan,
namun pelaksanaan VCT di Puskesmas Singgani belum maksimal dikarenakan belum
adanya sarana dan prasarana sebagai penunjang, misalnya belum ada Dokter, ruang
laboratorium serta petugas laboratorium. Sejauh ini pelayanan VCT di Puskesmas
Singgani dilaksanakan oleh 2 petugas yaitu petugas konselor dan petugas
administrasi.
4.
Alur Pelayanan VCT
Konseling dan test sukarela adalah
kegiatan konseling bersifat sukarela dan rahasia, yang dilakukan oleh seorang
konselor VCT yang terlatih, yang dilakukan sebelum dan sesudah test darah untuk
HIV di laboratorium. Tes HIV dilakukan setelah klien terlebih dulu
menandatangani inform consent (surat persetujuan tindakan). Jadi, VCT atau Voluntary
Counseling and Testing adalah tes HIV yang dilakukan secara
sukarela. Karena pada prinsipnya tes
HIV tidak boleh dilakukan dengan paksaan atau tanpa sepengetahuan orang
yang bersangkutan.
VCT penting untuk dilakukan karena untuk
dapat mengakses ke semua layanan yang dibutuhkan terkait pencegahan dan
pengobatan HIV/AIDS dan untuk memberikan dukungan demi kebutuhan klien seperti
perubahan perilaku, dukungan mental, dukungan terapi ARV, dan pemahaman yang
benar dan faktual tentang HIV/AIDS.
VCT tidak hanya diperuntukkan bagi penderita HIV saja
tapi semua manusia bisa mendapatkan layanan
VCT. Jadi VCT diperuntukkan untuk :
a.
Mereka yang mau melakukan test HIV
b.
Mereka yang pernah berperilaku berisiko terhadap
penularan HIV di masa lalu dan ingin merencanakan masa depannya
c.
Para homo atau orang yang melakukan hubungan seksual
berisiko. Hubungan berisiko ini bukan hanya hubungan dengan pekerja seks,
gigolo ataupun waria. Hubungan seksual dengan orang yang tidak diketahui status
HIV nya bisa juga dianggap hubungan berisiko
d.
Orang yang pernah menerima transfusi darah
e.
Pengguna narkoba suntik
f.
Orang yang mengalami Infeksi Menular Seksual berulang
Ada beberapa tahapan dalam melakukan VCT yaitu tahapan
pertama adalah pemberian informasi tentang HIV dan AIDS, cara penularan, cara
pencegahannya dan periode jendela. Kemudian konselor dilaksanakan penilaian
risiko klinis. Pada kegiatan ini, klien harus jujur tentang hal-hal berikut:
a.
Kapan terakhir kali melakukan aktivitas seksual
b.
Apakah menggunakan narkoba suntik
c.
Melakukan hal-hal yang berisiko pada pekerjaan
misalnya dokter ataupun calon dokter atau tenaga kesehatan lainnya
d.
Apakah pernah menerima produk darah, organ atau sperma
Untuk konselor VCT biasanya terikat sumpah
untuk merahasiakan status klien. Jika tahapan pertama (pre konseling) sudah
selesai, selanjutnya konselor akan menawarkan kepada klien apakah bersedia
untuk melakukan tes HIV. Jangan khawatir, kalau misalnya ragu untuk melakukan
tes dan tidak mau, juga tidak masalah. Konselor tidak akan memaksa klien untuk
melakukan tes HIV. Bisa kembali lagi kapan saja.
Dan jika klien mau melakukan tes HIV,
konselor akan memberikan informed consent
atau izin/persetujuan/pernyataan dari klien untuk melakukan tes HIV, di surat
pernyataan ini klien menyatakan bahwa klien yang bersangkutan telah menerima
informasi yang berhubungan dengan tes
VCT ini dan telah menjalani penilaian risiko klinis (seperti yang telah
dijelaskan diatas). Klien juga menyatakan kalau dirinya bersedia untuk dilakuan
tes HIV.
Pada saat melakukan tes HIV, darah akan
diambil secukupnya. Dan pemeriksaan darah ini bisa memakan waktu antara setengah
jam sampai satu minggu tergantung jenis tes HIV yang dipakai. Biasanya klien
disuruh pulang dan kembali lagi mengambil hasil tes beberapa hari setelahnya.
Kalau klien berubah pikiran dan tidak
mau ngambil hasil tes terserah dan tidak masalah yang penting sebagai konselor,
telah melakukan sesuai standart kerja. Tapi kalau klien memutuskan untuk
mengambil hasil tes, klien akan menjalani tahapan post konseling.
Pada tahapan ini (post konseling), konselor akan memberitahukan hasil tes. Kalau hasil tesnya negatif, balik lagi ke penilaian risiko klinis, inilah pentingnya bagi kita untuk menjawab dengan jujur. Kalau dari penilaian risiko klinis, klien masih dalam masa periode jendela. Periode jendela adalah periode di mana orang yang bersangkutan sudah tertular HIV tapi antibodinya belum membentuk sistem kekebalan terhadap HIV dan hasil tes HIV nya masih negatif, meski belum terdeteksi tapi sudah bisa menularkan, klien akan dianjurkan untuk melakukan tes kembali tiga bulan setelahnya. Selain itu, bersama-sama dengan klien konselor akan membantu klien untuk merencanakan program perubahan perilaku.
Pada tahapan ini (post konseling), konselor akan memberitahukan hasil tes. Kalau hasil tesnya negatif, balik lagi ke penilaian risiko klinis, inilah pentingnya bagi kita untuk menjawab dengan jujur. Kalau dari penilaian risiko klinis, klien masih dalam masa periode jendela. Periode jendela adalah periode di mana orang yang bersangkutan sudah tertular HIV tapi antibodinya belum membentuk sistem kekebalan terhadap HIV dan hasil tes HIV nya masih negatif, meski belum terdeteksi tapi sudah bisa menularkan, klien akan dianjurkan untuk melakukan tes kembali tiga bulan setelahnya. Selain itu, bersama-sama dengan klien konselor akan membantu klien untuk merencanakan program perubahan perilaku.
Kalau hasil tes positif, klien bebas
untuk mendiskusikan perasaannya dengan konselor. Konselor juga akan
menginformasikan fasilitas untuk tindak lanjut dan dukungan. Misalnya, jika
klien membutuhkan terapi ARV ataupun dukungan dari kelompok orang-orang senasib
sebaya. Selain itu, konselor juga akan memberikan informasi tentang cara hidup
sehat dan bagaimana cara agar tidak menularkan ke orang lain.
a.
Hasil tes HIV
adalah rahasia yang seharusnya hanya diketahui oleh konselor dan klien saja.
Klien dapat menuntut apabila ternyata hasil HIV bocor ke orang lain yang tidak
berwenang. Kalaupun klien dirujuk dan artinya informasi tentang status HIV
klien harus diberitahukan ke orang lain, harus dengan persetujuan klien
b.
Proses VCT
yang benar memegang teguh privacy dan juga memastikan kalau klien melakukan VCT
dengan sukarela.
Gambar 5.1 Alur pelyanan VCT
B.
Karakteristik
Informan
Berdasarkan hasil obeservasi di lapangan
menunjukkan
jumlah informan terdiri dari 11
orang. Berdasarkan kategori umur, informan beragam mulai dari umur 20-30 tahun sebanyak
5 orang dan 35-60 tahun
sebanyak 6 orang. Berdasarkan
pendidikan
informan
, 1 orang taman sekolah dasar (SD), 3 orang tamatan sekolah menengah pertama (SMP),
5 orang tamatan sekolah menengah atas (SMA) dan 2 orang sarjana (S1). Berdasarkan pekerjaan informan yang 2 orang bekerja
sebagai wanita pekerja seks (WPS), 2 orang bekerja sebagai pegawai salon, 1 orang bekerja
sebagai instruktur, 3 orang bekerja sebagai wiraswasta dan 1 orang bekerja
sebagai PNS, 1 orang bekerja sebagai tukang ojek serta 1 orang belum bekerja.
Adapun karakteristik informan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel
berikut:
Tabel 5.4
Distribusi Jumlah Informan di
Wilayah Kerja
Puskesmas Singgani Kota Palu Tahun
2014
No
|
Informan
|
Umur
|
Jenis Kelamin
|
Pendidikan
|
Pekerjaan
|
1
|
LT
|
59
|
Laki-laki
|
SMA
|
Wiraswasta
|
2
|
MA
|
40
|
Perempuan
|
SD
|
Wiraswasta
|
3
|
UP
|
42
|
Laki-laki
|
SMA
|
Wiraswasta
|
4
|
RY
|
38
|
Perempuan
|
S1
|
PNS
|
5
|
AL
|
26
|
Laki-laki
|
S1
|
Instruktur
|
6
|
NT
|
26
|
Laki-laki
|
SMA
|
Belum Bekerja
|
7
|
PU
|
30
|
Laki-laki
|
SMA
|
P. Salon
|
8
|
NW
|
21
|
Laki-laki
|
SMP
|
P. Salon
|
9
|
MY
|
47
|
Perempuan
|
SMP
|
WPS
|
10
|
YY
|
38
|
Perempuan
|
SMP
|
WPS
|
11
|
RZ
|
24
|
Laki-laki
|
SMA
|
Tukang Ojek
|
Sumber Data Primer Tahun 2016
C.
Hasil
Wawancara
1.
Pengetahuan Informan
Pengetahuan merupakan bagian penting dalam
mempengaruhi perilaku kesehatan. Upaya-upaya ini menjadikan setiap individu
atau kelompok akan berusaha merubah sikap dan perilaku berisikonya. Pendidikan
tentang kesehatan merupakan sekumpulan pengalaman dimana dan kapan saja,
sepanjang dapat mempengaruhi pendidikan dan perilaku.
Untuk menggambarkan pengetahuan Informan yang meliputi Ketua RT,
Mucikari, Kelompok risti dan pelanggan WPS yaitu diukur melalui pertanyaan yang
terdiri dari pengertian atau definisi HIV/AIDS dan layanan VCT, cara penularan,
dan cara pencegahan HIV/AIDS. Seperti kutipan hasil penelitian berikut:
“HIV/AIDS itu yang setahu saya sih
itu merupakan ee.. apa namanya ya virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh
seseorang seperti itu.. secara umum seperti itu”. (AL,
26 Tahun, 05 April 2016).
Pengetahuan
mengenai HIV/AIDS bagi sebagian besar informan cukup baik, meskipun belum bisa
mendefinisikan HIV/AIDS secara benar namun mereka bisa menjelaskan tentang
HIV/AIDS sebagai suatu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Pada
dasarnya pengetahuan dipengaruhi oleh pendidikan dan pengalaman dari seseorang,
hal ini sejalan dengan pernyataan informan sebagai berikut :
Informasi
yang diperoleh juga sangat berpengaruh terhadap pengetahuan informan, sehingga
informan bisa mendefinisikan HIV/AIDS secara baik dan benar dan bisa membedakan
definisi antara HIV dengan AIDS. Hal ini sejalan dengan pernyataan informan
berikut:
“ee... HIV adalah suatu penyakit
yang sebenarnya sepengetahuan saya adalah sebuah penyakit yaitu berupa ee..
apa.. ee bisa menyebar melalui darah”. (NW, 21 Tahun, 10 April
2016)
Lumayan tahu sih... HIV dan AIDS itukan beda,
sebelum ke fase AIDS pasti dia HIV dulu, kalau HIV itu Human Imunitation Virus
kalau yang AIDS gak tahu”. (NT, 26 Tahun, 05 April 2016)
“Penyakit itu yang membahayakan” (YY,38
Tahun,07 April 2016)
“Pernah dengar.. teman-teman kan
banyak yang meninggal di undata, HIV itu yoo sakit, terus badan kurus trus ada
bercak luka-luka begitu toh”. (MY, 47 Tahun, 07
April 2016)
Selain
pertanyaan seputar pengertian HIV/AIDS, informan juga diharapkan mampu
menjelaskan tentang cara penularan HIV/AIDS. Seperti kutipan hasil penelitian
berikut:
“Melakukan
seks tanpa kondom, jarum suntik yang tidak steril yang berganti-ganti,trus dari
ee.... cairan laki-laki atau perempuan, air manilah”. (NT,
26 Tahun, 05 April 2016)
“Tahu.. dalam berhubungan seksual,
air susu ibu, dan darah”. (PU, 30 Tahun, 05 April 2016)
Pernyataan
di atas di dukung dengan pernyataan informan berikut:
“Iya pernah sih, katanya dari
beberapa ee yang pernah mengalami penyakit ini kan mengenai apa dulu gonta
ganti pasangan,iya kan sehingga terjadinya penularan”. (RZ,
24 Tahun, 15 April 2016)
“Penularannya berupa ee.. melalui
darah dan yang kedua ee...dengan bentuk seksnya tersendiri”. (NW,
21 Tahun, 10 April
Berdasasrkan
penjelasan informan tentang cara penularan HIV/AIDS, Sebagian besar informan
mengetahui bahwa penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual. Hal ini tidak
sejalan dengan Pernyataan yang disampaikan oleh informan berikut:
“Penularannya melalui transfusi
darah, jarum spoit kan, kalau yang lain-lain itu tidak ada”. (LT,
59 Tahun, LT, 12 April 2016)
Selanjutnya
peneliti mengajukan pertanyaan seputar cara pencegahan HIV/AIDS. Seperti kutipan
hasil penelitian berikut:
“Pencegahannya kalau mau seks harus
pakai kondom, menggunakan jarum suntik yang tidak berganti-gantian”.
(NT, 26 Tahun, 05 April
2016)
Pernyataan
di atas di dukung oleh pernyataan informan berikut terkait cara pencegahan
HIV/AIDS:
“Dia lebih ke anu ya apa namanya ini..
proteksi diri saja kalau seks aktif seperti itu. Setia mungkin kepada pasangan
kemudian kenali pasangan seperti itu, kemudian menggunakan alat kontrasepsi
misalnya kondom mungkin itu lebih aman”.
(AL, 26 Tahun, 05 April
2016)
Berdasarkan
pernyataan informan, sebagian besar menjelaskan bahwa cara pencegahan HIV/AIDS
bisa dilakukan dengan tidak bergonta-ganti pasangan, menggunakan kondom serta
tidak menggunakan jarum suntik yang tidak steril. Hal ini tidak sejalan dengan
pernyataan informan berikut:
“Suntik saya tiap bulan sekali,
trus minum anti biotik, saya jamu, hari-hari jamu, itu saja”. (MY,
47 Tahun, 07 April 2016)
“Saya ndak ngerti”. (YY,
38 Tahun, 07 April 2016)
Sebagai
pertanyaan terakhir yang diajukan oleh peneliti kepada informan yaitu
pertanyaan seputar pengetahuan informan mengenai VCT. Seperti kutipan hasil
penelitian berikut:
“VCT itu yang saya tau sih itu ee..
pengambilan sampel darah untuk di test secara klinis dilaboratorium, supaya
kita bisa mengetahui status apakah kita dalam kondisi aman atau itu seperti
itu”.
(AL, 26 Tahun, 05 April
2016)
“VCT adalah bagaimana ee.. ketika kita
melakukan satu cek darah ee.. yaitu berupa ee.. darahnya kita diambil, dicek
apakah kita terkena satu penyakit atau tidak”. (NW,
21 Tahun, 10 April 2016)
Informasi
tentang layanan VCT belum banyak diketahui oleh sebagian informan, sebagian
menyatakan pernah mendengar tetapi belum tahu tentang layanan VCT tersebut. hal
ini sesuai dengan pernyataan informan berikut:
“Ya.. saya tidak tahu”. (LT,
59 Tahun, 12 April 2016)
“Kalau mengenai soal itu belum
pernah dengar sih”.
(RZ,
24 Tahun, 15 April 2016)
“VCT..Pernah..pernah dengar, kalau
kepanjangannya tidak tahu”. (NT, 26 Tahun, 05 April
2016)
Pernyataan
tersebut di atas di dukung oleh pernyataan informan berikut:
“Pernah.. ya ndak taulah pokoknya
ditest HIV waktu.. ih masih tahun berapa itu”. (MY,
47 Tahun, 07 April 2016)
Untuk
mengambarkan tingkat pengetahuan konselor dan PL, maka peneliti mengajukan
pertanyaan yang berbeda yaitu tentang tahapan perubahan HIV ke AIDS,
pelaksanaan kegiatan mobile VCT di lapangan dan sasaran program VCT serta tugas
seorang PL dilapangan. seperti kutipan hasil penelitian berikut:
“Yang saya ketahui kalo perubahan HIV
ke AIDS itu tidak bisa dilihat secara langsung... karena tentunya harus melalui
pemeriksaan dulu ya kan, tapi yang paling sering itu yang saya tahu tentang
masa jendela. Pada Masa jendela ini biasanya klien yang saya konseling sangat
rentan tertular HIV, makanya itu konseling harus dilaksanakan setiap 3-6 bulan”.
(RY, 38 Tahun, 18 April 2016)
Pernyataan
tersebut diatas sesuai sejalan dengan pernyataan informan berikut:
“Perubahan HIV ke AIDS sejauh ini
yang saya ketahui yaitu apabila seseorang menderita suatu penyakit yang tidak
sembuh-sembuh misalnya sariawan dan diare, karena yang saya ketahui seorang
penderita HIV apabila sudah berubah menjadi AIDS berat badannya itu akan turun
secara drastis. Tapi awalnya sebelum menjadi AIDS penderita menjalani yang
namanya masa jendela”. (UP, 42 Tahun, 17 April 2016)
Berdasarkan
pernyataan kedua infroman tersebut, diketahui bahwa dalam tahapan perubahan HIV
ke AIDS diawali dengan periode jendela, seseorang yang terinfeksi HIV ataupun
AIDS tidak mudah dilihat secara fisik. Namun ada gejala-gejala khusus seseorang
yang menderita AIDS misalnya berat badan yang turun secara drastis dan
rentannya seseorang terhadap penyakit. Hal ini dikarenakan menurunnya sistem
kekebalan tubuh dalam diri seseorang.
Pertanyaan
selanjutnya yaitu tentang sasaran program VCT. Seperti kutipan hasil penetian
berikut:
“Tentu tidak, karena sebenarnya
setiap orang perlu melakukan VCT.. karena kan tidak ditahu bagaimana mereka
diluar, tapi selama ini kami lakukan VCT dikhususkan untuk kelompok risti
karena mereka ini orang-orang yang sangat rentan tertular dan menularkan virus
HIV/AIDS... tapi kalo masyarakat yang lain juga berminat jauh lebih bagus lagi
artinya mereka sadar kalo VCT itu penting, tapi untuk di palu sendiri masih
banyak kendala begitulah”. (RY, 38 Tahun, 18 April 2016)
“Oh tentu tidak, orang lain juga
sebaiknya ikut VCT karena kan mereka juga beresiko tertular HIV. HIV ini kan
bisa menular kesiapa saja. Tapi memang VCT ini dikhususkan untuk kelompok risti
seperti waria, LSL, PSK... karena mereka sangat rentan sekali tertular”. (UP,
42 Tahun, 17 April 2016)
Sasaran
program VCT bukan hanya diperuntukkan bagi kelompok risti saja, karena dalam
penanggulangan HIV/AIDS maka setiap orang wajib mengikuti program VCT.
Selanjutnya
peneliti mengajukan pertanyaan kepada konselor tentang bagaimana pelaksanaan
mobile VCT di lapangan. Seperti kutipan hasil pertanyaan berikut:
“Sejauh ini yang kami lakukan
selama mobile VCT itu ya.. istilahnya jemput bola, misalnya kalo ditempat PSK
kami kunjungi perkamar atau biasa juga kami hubungi RT nya untuk mengumpulkan
PSK di tempat yang sudah disediakan. Setelah PSK terkumpul yang kami lakukan
adalah memberikan informasi dasar HIV dan konseling”. (RY,
38 Tahun, 18 April 2016)
Dalam
pelaksanaan mobile VCT dikenal istilah jemput bola yang artinya bahwa seorang
konselor bersama petugas kesehatan yang lain melakukan kunjungan langsung ke
tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat yang rentan terjadi penularan
HIV/AIDS. misalnya di lokalisasi, pelaksanaan mobile VCT melipatkan ketua RT
ataupun orang-orang tertentu yang dianggap berpengaruh di tempat tersebut.
Selanjutnya
pertanyaan diajukan kepada PL mengenai tugas yang dilakukan selama di lapangan.
Seperti kutipan hasil penelitian berikut:
“Biasanya kita sebagai petugas
lapangan tugasnya menjangkau teman-teman yang rentan tertular HIV/AIDS... tapi
kan itu tidak mudah jadi kita cari orang dulu yang bisa kita ajak kerja sama
kalau istilahnya diknal dengan tokoh kunci... nah dari mereka ini biasanya kami
peroleh informasi dan akses untuk menjangkau kelompok risti”. (UP,
42 Tahun, 17 April 2016)
Seorang
petugas lapangan bertugas melakukan penjangkauan pada tempat-tempat kelompok
risti. Namun sebelumnya untuk memperoleh informasi dan akses ke tempat kelompok
risti, seorang PL harus terlebih dahulu mencari tokoh kunci. Karena tokoh kunci
merupakan orang yang mempunyai informasi tentang kelompok risti.
Berdasarkan
hasil wawancara dengan informan (Kelompok risti) di atas menunjukkan bahwa sebagian
besar pengetahuan informan tentang definisi HIV/AIDS sudah baik, dimana
sebagian besar informan mengetahui bahwa HIV/AIDS adalah penyakit yang
menyerang sistem kekebalan tubuh. Selain definisi HIV/AIDS, Informan juga mengetahui
cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS meskipun hanya sebagian yang mereka bisa
jelaskan. Adapun pengetahuan informan tentang VCT masih kurang.
2.
Stigma
dan Diskriminasi
Stigma dan diskriminasi merupakan sebuah fenomena
yang selalu dan sering dihadapi oleh penderita HIV/AIDS maupun kelompok risti
yang rentan tertular HIV/AIDS. Perlakuan dan pandangan sinis yang diterima dari
lingkungan mereka terkait dengan perilaku ataupun penyakit yang mereka derita.
Stigmatisasi merupakan bagian dari kendala yang dihadapi kelompok risti maupun
penderita HIV/AIDS untuk memanfaatkan suatu pelayanan kesehatan (Leslie,
2010).
Untuk menggambarkan stigma dan diskriminasi bagi Informan, maka
diukur melalui pertanyaan yaitu bagaimana stigma dan diskriminasi terhadap kelompok
risti dan ODHA. Seperti kutipan hasil penelitian berikut:
“Iya pernah, ya misalnya orang
bilang eh kenapa kau mau bergaul sama orang seperti itu nanti malah kamu ikut-ikutan
seperti itu begitu, kebanyakan dari teman. kalau tindakan tidak pernah”.
(AL, 26 Tahun, 05 April
2016)
“Pernah sih... ya seperti, kenapa
sih seperti itu bukan berubah pada intinya. kalau untuk tindakan sih... tidak
ada sih”.
(PU, 30 Tahun, 05 April 2016)
Stigma
yang diterima oleh kelompok risti seringkali dikaitkan dengan perilaku mereka
yang dianggap negatif oleh masyarakat, selain itu resiko pekerjaan juga bisa
menimbulkan stigma dari masyarakat. Hal ini sejalan dengan pernyataan informan
berikut:
“Ya namanya pekerjaan seperti ini
tentu ada”.
(YY,
38 Tahun, 07 April 2016)
Bagi
masyarakat awam, kelompok risti tentu akan memberikan pandangan negatif
terhadap kelompok risti karena menganggap bahwa mereka adalah orang yang
memiliki perilaku buruk, namun bagi mereka yang memiliki pengetahuan yang baik dengan
kelompok risti akan memberikan pandangan yang berbeda, hal ini sejalan dengan
pernyataan informan berikut:
“Kalau kami sih pada prinsipnya
ee.. itu kita ini di dalam ee di dalam kehidupan kita, kalo sudah mengetahui
teman kita, tidak boleh kita menghindari artinya bagaimana saja kita
mengedukasi supaya ee.. teman tersebut ee.. dengan keadaannya ee.. menjaga
kesehatan dirinya begitu”. (UP, 42 Tahun, 17 April 2016)
“Kalo menurut saya, kita apa
namanya.. mereka itu bukan kita ungsikan, mereka juga kita apa namanya dijamin
kesehatannya atau bagaimana kesehatannya selalu kita kontrol kalau untuk kita
mengungsikan itu tidak bisa karena itukan HAM”.
(LT, 59 Tahun, 12 April
2016)
Pernyataan tersebut di
dukung oleh pernyataan informan berikut:
“Maksudnya sejauh ini pandangan
saya itu bagaimana ya.. ee maksudnya tidak ada sih karena mungkin kita selama
ini kan saya bergelut dengan pasien HIV/AIDS jadi untuk saya pribadi tidak ada
ini tidak ada kendala”. (RY, 38 Tahun, 18 April 2016)
Selanjutnya
peneliti mengajukan pertanyaan seputar diskriminasi terhadap kelompok risti.
Seperti kutipan hasil penelitian berikut:
“Kalau sampai dihindari gak pernah,
tapi kalau mereka tahu saya seperti ini mungkin mereka sudah tahu”.
(NT, 26 Tahun, 05 April
2016)
“Kalau disini kayaknya tidak ada,
karena ini disini lorong inikan maksudnya tidak juga hampir semua tapi lorong
ini kan kebanyakan”.
(YY, 30 Tahun, 07 April
2016)
Pernyataan tersebut di
dukung oleh pernyataan informan berikut:
“Kalau saya lebih ke anu ya apa
namanya memberikan pemahaman saja memberikan pemahaman ke teman-teman ee...
tentang hal-hal yang baiklah seperti itu, kalau tindakan tidak pernah”.
(AL, 26 Tahun, 05 April
2016)
Meskipun
menerima stigma, namun kelompok risti tidak pernah mendapat tindakan
diskriminasi seperti dikucilkan ataupun dihindari. Tindakan diskriminasi
biasanya datang dari orang-orang yang menganggap bahwa kelompok risti adalah
orang yang harus dihindari karena membawa penyakit yang berbahaya. Hal ini
sejalan dengan pernyataan informan berikut:
“Kalau menurut saya sih itukan
berbahaya harus dihindari”
(RZ,
24 Tahun, 12 April 2016)
Tindakan
diskriminasi seringkali ditunjukkan bagi seseorang yang dianggap membawa dampak
negatif di lingkungan sekitar, namun bagi mereka yang memiliki pengetahuan yang
baik tentang kelompok risti akan memberikan tindakan yang berbeda, hal ini
sejalan dengan pernyataan informan berikut:
“Kalo kita tahukan tentunya kita
tidak menjauhinya, iya tidak boleh kan.. itukan stigma, iya jadi kita malah
tetap malah mendukung tapi mungkin kita apa.. ee.. care juga dengan mereka,
misalnya bagaimana mereka, kepatuhan mereka untuk berobat begitu”.
(UP, 42 Tahun, 17 April
2016)
“Tindakan saya, saya melaporkan
kepada petugas kesehatan toh yang dicurigaikan baru diambil darahnya baru
ditujukan di VCT ya nanti KPAnya yang anu mengobati pencegahannya kan”.
(LT, 59 Tahun, 12 April
2016)
Berdasarkan
hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar kelompok risti pernah mendapat
stigma, tetapi untuk tindakan diskriminasi mereka tidak pernah mendapatkannya.
Stigma dan diskriminasi juga tidak pernah ditunjukkan bagi informan yang
memiliki pengetahuan yang baik tentang kelompok risti, sebaliknya stigma dan diskriminasi
ditunjukkan oleh informan yang tidak memiliki pengetahuan tentang kelompok
risti.
3.
Dukungan Petugas Kesehatan
Menurut Snehandu Kar dalam Notoatmodjo (2010), perilaku
pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh ada tidaknya informasi tentang
kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessability of information) yang
dapat diperoleh masyarakat dari petugas
kesehatan.
Untuk menggambarkan dukungan petugas kesehatan, maka diukur
melalui pertanyaan mengenai dorongan dalam bentuk kunjungan, pemeriksaan
kesehatan yang diberikan, pemberian informasi tentang HIV/AIDS serta ajakan
petugas kesehatan kepada kelompok risti untuk mengikuti program VCT. Seperti
kutipan hasil penelitian berikut:
”Kalau kunjungan pribadi belum
pernah cuman ee... biasanya kalau ada kegiatan-kegiatan apa namanya misalnya
salah satu contohnya kan VCT, biasanyakan itu berbarengan dengan hari-hari besar
misalnya hari AIDS sedunia”. (AL, 26 Tahun, 05
April 2016)
“Dulu sering, iyo.. dulu tiap bulan
pasti didatangi, satu tahun lebih ndak pernah diurus sudah”. (MY,
47 Tahun, 12 April 2016)
Kunjungan
petugas kesehatan sangat penting bagi kelompok risti, karena dengan kunjungan
tersebut maka kelompok risti bisa memeriksakan status kesehatannya. Sebagian
informan menyatakan bahwa kunjungan dari petugas kesehatan masih kurang, hal
ini sejalan dengan pernyataan informan berikut:
“Kalau dari Dinas Kesehatan terus
terang kalau untuk sekarang waria itu perlu, karena kenapa, kita bisa tahu
penyakitnya kita apa maka dari situ kita bisa belajar bukan hanya mencegah
tetapi mengobati”. (NW, 21 Tahun, 10 April 2016)
“Sebenarnya begitu, tapi ini jarang
toh karena terpencil”.
(MA,
40 Tahun, 12 April 2016)
Pernyataan di atas di
dukung dengan pernyataan informan berikut:
“Ih saya gak pernah, kalau sakit paling ke
puskesmas atau ke dokter praktek yang terdekatlah”. (PU,
30 Tahun, 05 April 2016)
“Belum Pernah” (RZ,
24 Tahun, 15 April 2016)
Pemberian
informasi merupakan bagian dari dukungan petugas kesehatan bagi kelompok risti,
hal ini sesuai dengan hasil penelitian berikut:
“Sosialisasi tentang HIV/AIDS tadi
itu memberikan informasi sekaligus VCT juga”. (NT,
26 Tahun, 05 April 2016)
“Kalau dulu tiap bulan, kalau anu
dipanggil sudah rame-rame sudah, yo disunti, yo dikasih pengarahan, yo dikasih
obat, yo dikasih kondom itu gratis semuanya”. (MY,
47 Tahun, 07 April 2016)
“Ah begini kalo tetapkan seperti di
tondo itu rutin kan setiap bulan, tapi yang begini ini ya paling-paling datang
petugas baru dikontrol dia punya kesehatan”. (LT, 59 Tahun,
12 April 2016)
Pemberian
informasi bagi kelompok risti sangat penting, karena diharapkan dengan
informasi maka akan merubah perilaku kelompok risti tersebut. Oleh karena itu
diharapkan bagi petugas kesehatan untuk senantiasa memberikan informasi kepada
kelompok risti tentang HIV/AIDS dan pencegahannya, tetapi sejauh ini bemberian
informasi bagi kelompok risti masih kurang, hal ini sesuai dengan pernyataan
informan berikut:
“Gak pernah”. (PU,
30 Tahun, 05 April 2016)
“Ndak pernah”. (YY,
38 Tahun, 07 April 2016)
Pernyataan
di atas di dukung dengan pernyataan informan berikut:
“Kebanyakan yang kami dapatkan itu
adalah anak-anak SMK kesehatan, kalau dari petugas kesehatan ada tapi sudah
lama”.
(NW, 21 Tahun, 10 April
2016)
Selain
pemberian informasi, bentuk dukungan petugas yang lain adalah jenis pemeriksaan
yang perlu diberikan kepada kelompok risti, seperti kutipan hasil penelitian
berikut:
“Ya itu.. pemeriksaan jangan sampai
ada penyakit-penyakit yang tidak itu toh kayak ini, apa namanya infeksi apa
begitu”.
(MA, 40 Tahun, 12 April
2016)
Pernyataan
di atas di dukung dengan pernyataan informan berikut:
“Oh pemeriksaan ini apa namanya
ee.. IMS juga bisa termasuk juga pemeriksaan TB”. (UP,
42 Tahun, 17 April 2016)
“IMS, itu yang paling penting
karena IMS itukan pintu masuknya HIV kan”. (RY, 38 Tahun,
18 April 2016)
Menurut
Informan pemeriksaan Infeksi Menular Seksual (IMS) sangat penting bagi kelompok
risti, dikarenakan IMS merupakan penyakit yang paling sering diderita oleh
kelompok risti dan merupakan pintu masuk HIV/AIDS. Selain pemeriksaan IMS,
pemeriksaan darah juga harus dilakukan terhadap kelompok risti. Hal ini sesuai
dengan pernyataan informan berikut:
“Mereka itu yang terutama
pengambilan darah, itu saja pengambilan darah itu saja”. (LT,
59 Tahun, 12 April 2016)
Bentuk
dukungan petugas kesehatan selanjutnya adalah ajakan untuk mengikuti program
VCT. Seperti kutipan hasil penelitian berikut:
“Pernah”. (AL,
26 Tahun, 05 April 2016)
“Pernah.. saya pernah ikut juga”. (NT,
26 Tahun, 05 April 2016)
Pernyataan di atas di dukung
dengan pernyataan informan berikut:
“Pernah, iya pernah. Yang disuntik
taro kaca itu toh”.
(MY,
47 Tahun, 07 April 2016)
Salah
satu upaya pencegahan HIV/AIDS adalah dengan mengikuti program VCT, hal ini
dianggap penting bagi kelompok risti karena mereka sadar bahwa mereka rentan
tertular HIV/AIDS oleh karena itu menurut mereka dengan mengikuti program VCT,
maka mereka akan mengetahui lebih cepat status HIV/AIDS dalam dirinya.
Namun
tidak semua informan pernah mendapat ajakan dari petugas kesehatan untuk
mengikuti program VCT, hal ini sesuai dengan pernyataan informan berikut:
“Kalau VCT sih gak pernah” (PU,
30 Tahun, 05 April 2016)
“Tidak ada juga” (YY,
38 Tahun, 07 April 2016)
“Belum pernah”
(RZ, 24 Tahun, 15 April 2016)
Pernyataan di atas di dukung dengan pernyataan informan berikut:
“Kalau lalu ada tapi untuk sekarang
belum ada”
(NW,
21 Tahun, 10 April 2016)
Berdasarkan
hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar informan dari kelompok risti
tidak pernah mendapat kunjungan oleh kelompok risti, begitu juga dengan
pemberian informasi yang masih kurang. Adapun jenis pemeriksaan yang sangat
penting bagi kelompok risti adalah pemeriksaan IMS dan test darah, sebagian informan
mengaku belum pernah mendapat ajakan dari petugas kesehatan untuk mengikuti
program VCT.
4.
Pemanfaatan Layanan Klinik
VCT
Pemanfatan merupakan kegunaan dari sebuah
program sehingga program ini dapat
berguna baik oleh individu atau masyarakat. Dalam proses peningkatan
pelayanan kesehatan tentunya
pemanfaatan sebuah program menjadi bagian dari output atau hasil dari
sebuah kebijakan yang di buat.
Untuk menggambarkan pemanfaatan informan terhadap pelayanan VCT,
maka diukur melalui tiga pertanyaan yang terdiri dari kesediaan mengikuti konseling
pra testing, test HIV dan konseling pasca testing HIV. Seperti kutipan hasil
penelitian berikut:
“Bersedia, kan itu untuk harus” (AL,
26 Tahun, 05 April 2016)
“iya bersedia” (NT,
26 Tahun, 05 April 2016)
“Iya” (PU,
30 Tahun, 05 April 2016)
“Bersedia” (RZ,
24 Tahun, 15 April 2016)
Pernyataan di atas di
dukung pula dengan pernyataan informan berikut:
“Iyo kalo misalnya adalagi periksa
kayak gitu”
(MY,
47 Tahun, 07 April 2016)
“Bersedia, karena itukan untuk
mengetahui status penyakit dalam tubuh kami, sehingga kami bisa melakukan
pencegahan”
(NW, 21 Tahun, 10 April
2016)
Berdasarkan
pernyataan tersebut menjelaskan bahwa seluruh informan bersedia mengikuti
konseling pra testing. Dalam konseling pra testing terjadi diskusi antara klien dan konselor yang bertujuan untuk
menyiapkan klien untuk testing, memberikan pengetahuan pada klien tentang
HIV/AIDS, Hal ini sejalan dengan pernyataan informan berikut:
“Iya, diinterogasi dulu begitu” (MA,
40 Tahun, 12 April 2016)
“Iya hasil itu dulu baru dites” (LT,
59 Tahun, 12 April 2016)
“Harus” (RY,
38 Tahun, 18 April 2016)
Konseling
pra testing merupakan salah satu tahapan dalam kegiatan VCT yang bisa diikuti
oleh kelompok risti secara sukarela artinya tanpa adanya paksaan, hal ini
sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh salah satu informan terkait
keharusan kelompok risti mengikuti kegiatan konseling pra testing, sesuai
pernyataan informan berikut:
“Oh namanya saja itu konseling atau
VCT dan sebagainya tentu saja tidak tergantung orang ini yang mau diajak kan
kadang walaupun ditanya konseling orang belum paham sebenarnya apa itu yang
pertama kita harus edukasi dulu begitu, jadi itu tidak harus”
(UP, 42 Tahun, 17 April
2016)
Selanjutnya
peneliti mengajukan pertanyaan kepada informan seputar kesediaan mereka dalam
mengikuti test HIV. Seperti kutipan hasil penelitian berikut:
“Kalau untuk pencegahan sih, saya
bersedia” (AL, 26 Tahun, 05 April 2016)
“Iya bersedia” (NT,
26 Tahun, 05 April 2016)
“Iyo mau” (MY,
47 Tahun, 07 April 2016)
“Iya bersedia” (NW,
21 Tahun, 10 April 2016)
Test
HIV merupakan tahapan kedua dari kegiatan VCT dan merupakan tahapan paling
penting dalam upaya pencegahan HIV/AIDS, oleh karena itu sangat diharapkan agar
kelompok risti bersedia untuk mengikuti test HIV. Tetapi, dalam tahapan ini
kelompok risti tidak dipaksakan untuk mengikuti test HIV, karena test HIV
dilakukan harus secara sukarela. Hal ini sejalan dengan pernyataan informan
berikut:
“Iya tergantung dari mereka toh,
walaupun saya sarankan begini kalo seandainya kemauannya mereka ini kan
lain-lain toh” (MA, 40 Tahun, 12 April 2016)
“Selagi.. selagi tergantung dari
individunya lagi kalo memang dianya mau ya kita kan disini hanya sebagai
konseling, tidak bisa kita paksakan nanti melanggar HAM lagi” (RY,
38 Tahun, 18 April 2016)
Pernyataan di atas di
dukung dengan pernyataan informan berikut:
“Kalo harus sudah pasti tidak,
karena orang juga kadang tidak usah kelompok risti kalaupun kelompok lain
karena mungkin adanya stigma mau dilayanan ataupun sebagainya itukan orang ee..
belum tentu mau diajak begitu, banyaklah hal-hal yang jadi pertimbangan
tergantung bagaimana adanya petugas lapangan yang nantinya ee.. secara perlahan
bisa melakukan pendekatan tadi bagaimana supaya bisa mengakses layanan paling
tidak minimal itu semacam kita menginformasikan misalnya dengan pemberian ee
rujukan misalnya kalo sewaktu-waktu dia merasa mengalami atau merasakan
penyakit atau apa itu bisa menghubungi kita begitu” (PU,
42 Tahun, 17 April 2016).
Pertanyaan terakhir yang peneliti tanyakan kepada informan terkait
kesediaan mereka mengikuti kegiatan konseling pasca testing. Seperti kutipan
hasil penelitian berikut:
“Pasca testing maksudnya ohh iya
bersedia” (AL, 26 Tahun, 05 April 2016)
“Iyo”
(MY,
47 Tahun, 07 April 2016)
“Iya” (NW,
21 Tahun, 10 April 2016)
Pernyataan di atas di dukung
dengan pernyataan informan berikut:
“Oh iya ya Bersedia juga supaya kan
kita tahu juga toh barangkali saya juga karena ini kan
menyangkut masalah seksual, jadi menurut saya bersedia dikonseling kembali toh”
(RZ, 24 Tahun, 15 April 2016)
Konseling
pasca testing HIV tujuannya untuk mengetahui hasil test HIV di dalam tubuhnya. Oleh
karena itu kelompok risti yang sudah mengikuti test HIV sebaiknya mengikuti
konseling pasca testing HIV, hal ini sejalan dengan pernyataan informan
berikut:
“Oh iyalah pasti kalo untuk itukan
pastinya kalau di konseling di VCT toh hasilnya itu kan pasti lagi dikonseling
lagi tujuannya kan bagaimana dengan mengetahui status dia bisa rajin berobat” (UP,
42 Tahun, 17 April 2016)
“Pasca testing iya harus” (RY,
38 Tahun, 18 April 2016)
Berdasarkan
hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar informan dari kelompok risti
bersedia mengikuti seluruh tahapan dalam kegiatan VCT mulai dari konseling pra
testing, test HIV maupun konselimg pasca testing HIV.
D.
Pembahasan
Berdasarkan hasil observasi di lapangan dan
informasi yang diperoleh dari hasil
wawancara mendalam dari informan kunci, informan biasa serta informan
tambahan. Maka peneliti akan menjelaskan setiap variabel yang berpengaruh
terhadap pemanfaatan layanan klinik VCT oleh kelompok risti di Puskesmas
Singgani Kota Palu sebagai berikut:
1.
Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang (Notoatmodjo, 2010).
Pengetahuan dalam penelitian ini adalah pengetahuan informan
berkaitan dengan definisi HIV/AIDS dan VCT, cara penularan, serta cara
pencegahan HIV/AIDS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar pengetahuan informan tentang definisi HIV/AIDS sudah baik, dimana
sebagian besar informan mengetahui bahwa HIV/AIDS adalah penyakit yang
menyerang sistem kekebalan tubuh. Selain definisi HIV/AIDS, Informan juga
mengetahui cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS meskipun hanya sebagian yang
mereka bisa jelaskan. Adapun pengetahuan informan tentang VCT masih kurang.
Dari hasil penelitian tersebut peneliti
berasumsi bahwa informan belum mengetahui tentang layanan VCT dikarenakan
kurangnya informasi yang mereka peroleh, serta dilihat dari tingkat pendidikan
dan pengalaman yang berbeda-beda dari setiap informan.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sari S. (2010),
menurutnya ada keeratan hubungan antara pengetahuan dalam upaya memperbaiki
perilaku. Dengan demikian meningkatkan pengetahuan akan memberikan hasil yang
cukup berarti untuk memperbaiki perilaku (Sari, 2010).
Individu yang berpendidikan memiliki kesadaran yang lebih tinggi
terhadap manfaat dari pemanfaatan pelayanan kesehatan. Individu terdidik
cenderung memiliki pengetahuan yang lebih baik dan memiliki informasi tentang
pengobatan medis modern serta memiliki.
Seperti halnya hasil penelitian Sarwono (2012) yang menyatakan
dalam menggunakan pelayanan kesehatan, seseorang dipengaruhi oleh perilakunya
yang terbentuk dari pengetahuannya. Selain itu, seseorang cenderung untuk
bersikap tidak menggunakan jasa pelayanan kesehatan disebabkan karena adanya
kepercayaan dan keyakinan bahwa jasa pelayanan kesehatan tidak dapat
menyembuhkan penyakitnya, demikian juga sebaliknya (Sarwono, 2012).
Berbeda dengan hasil penelitian Khairurrahmi (2010) yang menemukan
tidak adanya pengaruh pengetahuan secara multivariat terhadap pemanfaatan VCT
pada ODHA di kota Medan. Pengetahuan HIV/AIDS selama ini banyak diperoleh dari
media massa atau komunitas pemerhati HIV/AIDS, sehingga orang berisiko dapat
mengakses informasi tentang HIV/AIDS (Khairurrahmi, 2010).
2.
Stigma dan Diskriminasi
Dalam
pengertian yang sederhana, stigma adalah sikap atau attitude negatif yang
terkait dengan keyakinan atau pengetahuan seseorang. Sedangkan diskriminasi
adalah perilaku atau action yang dilakukan. Dengan demikian asal-usul
terjadinya “stigma” dan “diskriminasi” adalah dari pandangan negatif terhadap
orang atau kelompok tertentu yang dianggap mempunyai sesuatu yang tidak baik.
Stigma dan diskriminasi terhadap HIV/AIDS di masyarakat merupakan hambatan yang
menghalangi program penanggulangannya dapat berjalan optimal. Stigma dan
diskriminasi merupakan sebuah fenomena yang selalu dan sering dihadapi oleh
penderita HIV/AIDS maupun kelompok risti yang rentan tertular HIV/AIDS.
Perlakuan dan pandangan sinis yang diterima dari lingkungan mereka terkait
dengan perilaku ataupun penyakit yang mereka derita. Stigmatisasi merupakan
bagian dari kendala yang dihadapi kelompok risti di lingkungan sekitarnya (Leslie,
2010).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
kelompok risti pernah mendapat stigma, tetapi untuk tindakan diskriminasi
mereka tidak pernah mendapatkannya. Stigma dan diskriminasi juga tidak pernah
ditunjukkan bagi informan yang memiliki pengetahuan yang baik tentang kelompok
risti, sebaliknya stigma dan diskriminasi ditunjukkan oleh informan yang tidak
memiliki pengetahuan tentang kelompok risti.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurliana
(2010) yang menyatakan bahwa pemeriksaan rutin pada kasus orang yang beresiko
ternyata dapat mengurangi stigma HIV dan
penyedia layanan juga menegaskan bahwa tes HIV secara rutin memungkinkan dapat
mengurangi beberapa stigma yang terkait tentang kasus HIV/AIDS (Nurliana,
2010).
Berbeda
dengan Hasil penelitian di Hongkok tentang faktor-faktor yang berhubungan
dengan pemanfaatan VCT oleh LSL menunjukkan bahwa hambatan utama dalam
penggunaan VCT adalah masalah diskriminasi, stigma dan ketakutan akan hasil
test. Dikarenakan hambatan ini, maka terdapat sekitar 12,7% dari mereka yang
tidak mau melakukan VCT akan melakukan VCT 6 bulan kedepan (Worku, 2015).
3.
Dukungan Petugas Kesehatan
Dukungan
petugas kesehatan dapat dilihat dari lima dimensi dukungan bahwa dukungan
materi, emosi, penghargaan, informasi dan integritas sosial merupakan bentuk
dukungan yang dapat mendorong pemanfaatan VCT (Ermarini, 2013).
Dukungan petugas kesehatan dimaksud dalam penelitian ini
adalah berupa kunjungan, dorongan dalam bentuk informasi tentang HIV dan AIDS,
juga mengenai VCT serta motivasi yang diberikan oleh petugas kesehatan sebelum
responden memanfaatkan maupun selama informan memanfaatkan klinik VCT.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
informan dari kelompok risti tidak pernah mendapat kunjungan dari petugas
kesehatan, begitu juga dengan pemberian informasi yang masih kurang. adapun
jenis pemeriksaan yang sangat penting bagi kelompok risti adalah pemeriksaan
IMS dan test darah, sebagian informan mengaku belum pernah mendapat ajakan dari
petugas kesehatan untuk mengikuti program VCT.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fibriana (2013)
menunjukkan bahwa dalam melakukan tindakan kesehatan terdapat faktor pencetus
untuk memutuskan menerima atau menolak alternatif tindakan tersebut. Isyarat
ini dapat bersifat internal maupun eksternal. Isyarat internal, yaitu isyarat
untuk bertindak yang berasal dari dalam diri individu. Isyarat eksternal, yaitu
isyarat untuk bertindak yang berasal dari interaksi interpersonal, misal media
massa, pesan, nasehat, dukungan keluarga, anjuran atau konsultasi dengan
petugas kesehatan (Fibriana, 2013).
Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian Putri (2012) yang menyimpulkan bahwa
persepsi ODHA terhadap tenaga kesehatan berhubungan langsung dengan keputusan
untuk memanfaatkan pelayanan VCT. Untuk itu perlu kiranya peningkatan kualitas
petugas kesehatan dalam memberikan layanan VCT (Putri, 2012).
4.
Pemanfaatan Layanan Klinik VCT
Pemanfaatan layanan VCT adalah Penggunaan klinik VCT oleh
responden untuk mendapatkan layanan konseling dan testing HIV secara sukarela.
Dikatakan memanfaatkan jika kelompok risti mengikuti setiap tahapan dalam
kegiatan VCT, yaitu konseling pra testing, testing HIV dan konseling pasca
testing. Tidak memanfaatkan jika kelompok risti tidak mengikuti seluruh
tahapan dalam kegiatan VCT atau hanya memanfaatkan untuk sebagian kegiatan,
yaitu konseling pra testing saja atau konseling pra testing dan testing HIV
saja.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
informan dari kelompok risti bersedia mengikuti seluruh tahapan dalam kegiata
VCT mulai dari konseling pra testing, test HIV maupum konselimg pasca testing
HIV.
Berbeda
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hao Chun (2011) di China tentang
hubungan HIV terkait perilaku seks kelompok LSL. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa perlu perhatian khusus terhadap kelompok LSL, dimana kelompok
ini sebagian besar tidak melakukan konseling secara lengkap (tidak sampai
kepada post-tets conseling), dikarenakan masalah pelayanan, aksesibility dari
layanan VCT, kurangnya privacy, petugas yang tidak professional, stigma dan
diskriminasi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kelompok LSL memiliki
pengetahuan yang kurang tentang HIV/AIDS (Hao Chun, 2011).
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian ini tentang studi pemanfaatan layanan klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT) oleh
kelompok risti di wilayah kerja Puskesmas Singgani Kota Palu dapat disimpulkan
bahwa:
1.
Pengetahuan kelompok risti tentang
definisi HIV/AIDS, cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS pada dasarnya sudah
baik, namun mereka belum mengetahui tentang layanan VCT, hal ini disebabkan
oleh kurangnya informasi yang mereka peroleh.
2.
Stigma dan Diskriminasi bukanlah salah satu faktor
penghambat bagi kelompok risti untuk memanfaatkan layanan klinik VCT di
Puskesmas Singgani Kota Palu.
3.
Dukungan petugas kesehatan belum maksimal, hal ini
disebabkan petugas kesehatan jarang melakukan kunjungan secara langsung
terhadap kelompok risti, selain itu pemberian informasi seputar HIV/AIDS dan
layanan VCT kepada kelompok risti di wilayah kerja Puskesmas Singgani Kota Palu
juga belum maksimal.
4.
Kelompok risti bersedia mengikuti
seluruh tahapan dalam pelaksanaan kegiatan VCT mulai dari konseling pra
testing, test HIV sampai pada tahapan konseling pasca testing HIV.
B.
Saran
1.
Bagi Instansi
a.
Diperlukan penyebaran informasi yang lengkap mengenai
HIV/AIDS dan layanan VCT dalam upaya meningkatkan pengetahuan kelompok risti.
b.
Diharapkan kepada petugas kesehatan agar lebih
sering melakukan kunjungan kepada kelompok risti untuk memberikan pelayanan
kesehatan serta memberikan informasi tentang HIV/AIDS dan layanan VCT.
c.
Senantiasa melakukan koordinasi dengan KPA.
2.
Bagi Institusi
Diharapkan kepada institusi agar penelitian ini
menjadi salah satu bahan referensi kepustakaan dalam ilmu kesehatan sehingga
dapat menambah wawasan pengetahuan khususnya dalam ilmu Administrasi Kebijakan
Kesehatan
3.
Bagi Peneliti selanjutnya
Kepada peneliti yang lain diharapkan adanya
pengkajian mendalam mengenai pemanfaatan layanan klinik VCT oleh kelompok risti.
Daftar Pustaka
Almira, Farida. 2012,
Faktor yang Bertubungan
dengan Kepatuhan Pengguna Napza suntik Mengakses Layanan Alat Jarum Suntik
steril di Pukesmas kassi-kassi Masyarakat.
Bagian Epidemiolagi Fakultas Kesehatan Masyarakat Jniversitas Hssanuddin.
Departemen
Kesehatan RI. 2008. “Standar Pelayanan Minimal
Bidang Kesehatan Di Kabupaten/Kota.” Jakarta: Depkes RI.
Ditjen PP & PL Kemenkes RI. 2014, Laporan
perkembangan HIV-AIDS di Indonesia Triwulan III Tahun 2014, http://www.spiritia.or.id/Stats/StatCurr.ph p?lang=id&gg=1(di akses
10 November 2015).
Ermarini,
Anggia. 2013. Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemanfaatan Layanan
VCT Pada Populasi Beresiko Tinggi Hiv/Aids Di Provinsi Banten Tahun 2013.
Depok: Tesis. Magister Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia.
Fibriana,
A. I. 2013, Determinan keikutsertaan
pelanggan wanita pekerja seks (WPS) dalam program Voluntary Conseling and
Testing (VCT). Jurnal Kesehatan Masyarakat, 08(02), 146-151.
Hao, C. 2011, Public health challenges of the emerging HIV epidemic among men
who have sex with men in China, Department of Medical Statistics and Epidemiology, School of Public Health, Sun Yat-sen University, Guangzhou, China
Khairurrahmi.
2010, Pengaruh Faktor Predisposisi, Dukungan Keluarga dan Level Penyakit
Orang Dengan HIV-AIDS Terhadap Pemanfaatan VCT di Kota Medan. (Magister),
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Kepmenkes.
2005, Kepmenkes RI
N0.157/MENKES/SK/X/2005 tentang Pedoman Pelayanan konseling dan Testing
HIV/AIDS secara sukarela (Voluntary Counselling and Testing). Jakarta:
Republik Indonesia.
KPA Propinsi
Sulteng, 2015. Laporan Perkembangan HIV
AIDS di Sulawesi Tengah, Palu.
Leslie,
Butt, Ph. D., dkk. 2010. Stigma dan
HIV/AIDS di Wilayah Pegunungan Papua. University of Victoria, Canada
Nurliana.
2010. Pemanfaatan Layanan VCT (Voluntary Counselling and Testing) Oleh Pekerja Seks
Komersial Di Kabupaten Sintang Tahun 2010.
Skripsi. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Notoatmodjo, S.
2007. Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku.
Rineka Cipta: Jakarta
Notoatmodjo, S.
2010. Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku.
Rineka Cipta: Jakarta
Notoatmodjo, S.
2010, Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Nara,
A. 2014, Hubungan Pengetahuan, Sikap, Akses Pelayanan Kesehatan, Jumlah
Sumber Informasi Dan Dukungan Keluarga Dengan Pemanfaatan Fasilitas Persalinan
Yang Memadai Oleh Ibu Bersalin Di Puskesmas Kawangu Kabupaten Sumba Timur.
Tesis]. Fakultas Ilmu Kesehatan masyarakat, Universitas Udayana.
Negara,
M. P. 2013, Pengaruh Action Learning
Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Remaja Tentang Hiv/Aids Dan Klinik Voluntary
Counseling And Testing (VCT) Di SMK Perikanan Dan Kelautan Puger Kabupaten
Jember.
Putri.
2012, Analisis Faktor Pemanfaatan VCT pada Orang Risiko Tinggi HIV-AIDS JurnalNers,
6 (1), 58-67.
Robbins,
Stephen P. 2006. Perilaku Organisasi.
Edisi kesepuluh. Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia.
Sari, S. 2010, Analisis Hambatan Pemanfaatan Voluntary Counseling
and Testing (VCT) pada Pekerja Seks Komersial di Surakarta dalam Rangka
Mewujudkan MDG’s 2015. Jurnal KesMaDaSka,
35-41.
Sarwono,
W. Sarlito. 2012. Pengantar Psikologi Umum. PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Setia
Adi, G. 2012. Faktor–Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemanfaatan Pelayanan Pengobatan
Herbal Pada Pasien Hipertensi Di Balai Pengobatan Alternatif Sutardi Desa Teguh
Jajar Kecamatan Karang Malang Sragen. Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D, Alfabeta,
Jakarta.
Worku,
Z. T. 2015. Effect of mass media intervention on HIV and AIDS related stigma
and discrimination in Ethiopia. Journal of Development and Communication
Studies, 2(2-3), 329-343.
0 komentar:
Posting Komentar